Lagi, momentum duapuluh delapan oktober kita rayakan. Kini di usianya yang ke-82. Kita merayakan lagi sebuah peristiwa sejarah kebangkitan pemuda Indonesia, yang memberi fondasi bagi berdirinya bangunan bersama yang kita sebut Indonesia. Ini gawe nasional, gawe pemuda Indonesia. Mengapa lalu Pemuda NTT? Hendak memiskinkan makna Sumpah Pemuda? Terkesan arogan? Tendensius? Mungkin juga primordial, sukuis, getho, dan lain sebagainya? Tunggu dulu.
Jelas-jelas, memang apa yang hendak dikatakan dalam tulisan ini menunjuk pada Pemuda Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terentang dari ujung barat Flores hingga Timur, Lembata, Sumba, Timor, dan Alor. Baik yang tinggal di NTT maupun di bagian lain NKRI, bahkan juga dunia internasional. Mereka adalah generasi muda kisaran usia 18 – 35 tahun (merujuk pada ketentuan UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan). Meraka ada di kampus-kampus bagi mereka yang beruntung bisa mengenyam pendidikkan lanjut. Mereka adalah angkatan kerja produktif, di daerah kelahirannya, di daerah-daerah lain, maupun yang menjadi TKI ke luar negeri (NTT kini menempati peringkat ke-2 pengeskor TKI setelah Jawa Timur). Singkatnya, mereka ada pada rentang usia mahasiswa dan tenaga kerja produktif NTT.
Nah, momentum sejarah Sumpah Pemuda justru hendak dibaca pada konteks NTT sebagai sebuah ruang bersama, di mana para pemuda ini ada dan berasal. Tanpa mengurangi rasa hormat pada nilai kebangsaan dan juga pluralisme, kesadaran akan identitas NTT, patut menjadi pembelajaran bersama. Bagaimana memikirkan bangsa, jika elemen-elemen yang membentuk bangsa sebetulnya ‘rapuh’? Bagaimana berbicara tentang universalitas, jika lokalitas yang menopang universalitas sebenarnya ‘terkoyak-koyak?’ Bangunan lokalitas bernama Pemuda NTT, dengan sendirinya tidak ingin menentang ide besar sebuah bangsa, tidak sedang mengumbar primordialisme, tidak pula sedang membentuk getho, tetapi semata-mata, niat baik untuk membangun rangka-rangka dari sebuah bangunan besar dari bawah. Bayangkan, jika kayu, batu, semen, dan apa pun bahan sebuah bangunan, berasal dari bahan ‘asal-asalan’ saja, maka kualitas bangunan yang dihasilkan pun dengan sendirinya asal-asalan. Demikian sebaliknya. Pada titik inilah tulisan ini ditempatkan. Bagaimana semangat sumpah pemuda merasuki jiwa, akal dan raga para pemuda NTT? Bagaiman dengan semangat yang sama, para pemuda NTT berpikir serius dan matang tentang NTT, darinya muncul kekuatan untuk sumbangsih pembangunan nasional, bahkan internasional? Bagaimana Pemuda NTT membangun dirinya pada akar hakiki identitasnya? Bagaimana Pemuda NTT tumbuh pada kesejatian diri, yang memampukannya bisa bersaing pada level nasional dan bahkan internasional? Bagaimana Pemuda NTT tumbuh sebagai generasi kritis atas arus besar globalisasi dan modernisasi? Bagaimana pula Pemuda NTT menjadi agen perubahan sosial atas silang-sengkarut ruang hidup bersama, bernama NTT? Toh sudah bukan rahasia lagi, kalau NTT, sampai saat ini menjadi sorotan nasional dan internasional, bukan lantaran prestasinya (tanpa menafikan toh ini ada), tetapi justru karena keprihatinan. Sejak tahun 1959, ia resmi berdiri sebagai Provinsi (baru saja kita merayakan usia emasnya), tetapi toh usia emas, tidak memberi kita kemilau, tetapi justru kelabu, jika tidak mau dibilang gelap.
Nah, pada saat yang sama, entah sengaja atau tidak, Pemuda NTT seperti terus dininabobokan atau meninabobokan dirinya. Meraka ikut arus umum, tidak lagi kritis, tidak lagi menjadi kelompok masyarakat yang menentukkan perubahan. Mereka justru tumbuh mekar sebagai generasi pengekor. Para pemuda NTT, meminjam istilah Immanuel Kant, masih tertidur dogmatis; kondisi di mana akal, nalar dan mungkin juga rasa belum tercerahkan. Ini bisa karena bangunan besar dari luar yang secara sengaja menganeksasi melalui upaya-paya terstruktur. Katakan saja liberalisasi ekonomi, modernitas, bantuan-bantuan asing, dan ide import lainnya. Rambut yang tadinya keriting, mati-matian direbonding; karena ide cantik adalah rambut lurus dan kulit putih mulus. Gejala yang hampir umum. Bisa pula kondisi internal, misalnya budaya. Toh budaya, bukan sesuatu yang kodrati sifatnya. Beranikah Pemuda NTT kritis, termasuk juga dengan budayanya?
Singkatnya, Pemuda NTT belum menunjukkan dirinya sebagai kelompok penggerak perubahan, tanpa menafikkan kelompok pemuda atau orang per orang yang sudah mulai bergerak. Tetapi sebagai sebuah gerakan bersama sebagai Pemuda NTT, belum nampak maksimal. Kultur feodal yang begitu melekat, benar-benar membuat energi dan semangat muda itu layu. Pada level kampus, hampir 90 % mahasiswanya memiliki orientasi besar menjadi Pegawai Negeri Sipil, sementara di ruang-ruang diskusi, para mahasiswa ini sering mengeluh kinerja birokrasi NTT yang bobrok. Setiap tahun, ketika dibuka pendafataran untuk mengikuti test Pegawai Negeri Sipil, maka ribuan pemuda antre berlomba-lomba untuk mengisi posisi di birokrasi. Mata rantai itu pun dengan sendirinya akan sulit terputus. Jika bukan menjadi Pastor atau Pendeta, maka pilihan berikutnya adalah PNS, terlepas dari bahwa pilihan-pilihan ini adalah murni sebuah panggilan hati yang patut diapresiasi. Tapi toh, kebanyakan betul-betul karena sebuah pragmatisme, dan bukan karena nilai. Pada aras yang lain, stereotip pemuda NTT yang identik dengan premanisme begitu kuat di tengah masyarakat. Konflik antar preman di Jakarta (Kasus Ampera) baru-baru ini sedikti banyak menunjuk kita pada fakta ini. Akan selamanyakah Para Pemuda NTT dikenal hanya karena dia Pastor, Pendeta, PNS dan juga Preman?
Kondisi NTT yang makin hari, makin terpuruk, sebetulnya membuka mata para pemuda NTT di mana saja berada untuk berada di garis depan perubahan. Pemuda NTT bukan lagi generasi penerus, tetapi mereka adalah generasi penentu, ke mana ruang bersama ini akan dibawa. Terminologi generasi penerus yang digaungkan begitu kuat, toh bisa saja disalahartikan, dengan meneruskan juga korupsi, meneruskan praktek banal kekuasaan, dsb. Saatnya pemuda NTT mengidentifikasi dan mengikrakan diri sebagai generasi penentu.
Harapan menjadi lebih baik selalu ada. Pintu perubahan itu senantiasa terbuka lebar. Pertanyaannya adalah apakah kita mau? Sejarah mencatat, Pemuda NTT di tingkat lokal, nasional dan internasional adalah orang-orang muda yang kritis, kreatif, berkarakter. Mereka adalah aktor perubahan sosial. Mereka ada di jantung-jantung kekuasaan, mereka bergelut bersama warga lingkar tambang, mereka bergelut dengan warga yang akses pendidikkanya minim. Mereka ada di kampus-kampus yang mendidik untuk sungguh-sungguh menjadi manusia. Mereka ada bersama pegiat-pegiat keadilan sosial ekologis. Mereka tumbuh menjadi wirausaha yang sukses. Mereka adalah pribadi-pribadi penentu kebijakan, yang bahkan menjangkau dunia internasional. Fakta bahwa Pemuda NTT sebetulnya mampu. Cuma ia seringkali tumpul atau sengaja ditumpulkan.
Memang jumlah mereka tidak bisa kita bilang banyak, tetapi toh ada. Nah, bagaimana kuantitas yang masih minim saat ini, perlu terus didorong. Bagaimana kuantitas yang minim perlu diperkuat kualitasnya. Lepas dari itu, mereka pun perlu membangun sinergi untuk mengusahakan sebuah gerak perubahan. Sekian lama para pemuda NTT yang kreatif, kritis dan berkarakter terkotak-kotak, saatnya bersatu; membangun gerak bersama. Simpul-simpul gerakan pemuda perlu dibentuk. Pada titik yang sama, toh semua mengarah pada NTT yang lebih baik. NTT yang tidak lagi lapar.
Sebagai generasi muda kritis, pemuda NTT membina dirinya menjadi knowledge producer, yang tidak lagi dan hanya menjadi knowlede consumer. Mereka adalah generasi muda yang punya kepekaan sosial (dalam kata dan tindakan sekaligus). Mereka adalah generasi muda yang mau menjangkau cita-cita dan harapan hidup yang lebih besar. Pemuda NTT adalah kelompok masyarakat yang menjadi garam dan terang di komunitasnya. Pemuda NTT adalah garda terdepan mewujudkan NTT adil dan sejahtera. Pemuda NTT adalah kelompok yang membangun relasi kritis dengan pemerintah, gereja, budaya-budaya lokal, dan arus besar dari luar. Pemuda NTT adalah kelompok di mana keadilan, perdamaian, dan keutuhan lingkungan hidup itu terejawantahkan. Pemuda NTT adalah kelompok pengaruh (positif), dan bukan kelompok yang justru dipengaruhi.
Utang Pemuda NTT yang harus dibayar adalah lingkungan hidup yang kini sudah rusak, anak-anak gizi buruk, anak-anak putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, kinerja birokrat yang lemah, para petani yang terjepit oleh liberalisasi ekonomi, kelompok masyarakat lingkar tambang yang hidupnya sedang terancam, saudara-sadara kita TKI yang dideportasi dan disiksa di luar negeri, dan masih banyak utang lainnya. Waktu ini adalah waktu bagi para pemuda NTT. Silahkan memilih: ambil sebagai kesempatan positif atau tinggal tenggelam pada kondisi tidur dogmatis berkepanjangan?
Thomas H. Suwarta, Sekretaris Jenderal Formadda NTT (Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian), Alumnus STF Driyarkara - Jakarta
Source: disini
Quo Vadis Pemuda NTT?
Posted by PAKET VIAT on 19.17
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
I MISS U NTT
Posting Komentar