Pro – kontra terhadap pertambangan di Indonesia, juga Lembata yang hari-hari terakhir diributkan tentang Ranperda RTRW (rencana tata ruang wilayah) yang tengah dibahas DPRD bahkan dua tahun terakhir Lembata (kabupaten mungil diujung pulau Flores ini) dililit konflik yang hampir tiada akhir. Menarik benang ijo dari tarik menarik (pro-kontra) apakah tambang emas di Lembata dapatkah ditambang atau tidak, secara makro dilihat dalam bentuk pertarungan dua kekuatan besar yang lagi menghantui Indonesia ini, yakni;
Pertama adalah kekuatan korporasi global yang progresif, karena didukung oleh aliansi antara perusahaan-perusahaan raksasa dunia dengan negara-negara adidaya. Agenda utama kekuatan ini adalah menyatukan ekonomi nasional negara-negara di seluruh dunia dalam tatanan ekonomi global yang tanpa batas, yang membebaskan perusahaan-perusahan multinasional tersebut untuk bergerak secara leluasa mengatur mobilitas barang dan uang tanpa intervensi dari negara setempat. Kekuatan ini didukung oleh kebanyakan negara-negara termasuk Indonesia yang sudah terjebak jauh dalam penerapan konsep ekonomi neo-liberalism.
Indonesia, membuka pintu sebesar-besarnya bagi pemodal asing. Data Bank Indonesia tahun 2006 menunjukkan per Desember 2005, penanaman modal asing di Indonesia mencapai angka US$ 13.579,3 juta, sedangkan modal dalam negeri sebesar Rp 50.577,4 miliar. Sementara dari sisi investasi, yang ditunjukkan dengan keluarnya ijin usaha tetap, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pada tahun 2005 terdapat 909 proyek asing dengan nilai investasi US$ 8.914,6 juta. Bandingkan dengan proyek penanaman modal dalam negeri di kurun yang sama sebesar Rp 30.665 miliar dengan total proyek 214.
Alasan klasik dengan adanya investasi itu (penanaman modal asing) laju kemiskinan di negeri ini akan terhempas jauh keluar. Kemiskinan kita (rakyat Indonesia) sejak bangsa ini dinyatakan merdeka hingga kini menjadi persoalan rumit bahkan dinyatakan sebagai musuh bangsa. Kemiskinan ini telah membelit bangsa ini bak ular kobra. Membelit, menjepit, hingga bangsa Indonesia sulit keluar dari jurang keterpurukan. Laporan Bank Dunia tahun 2006 menyebutkan 42% dari seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah sekitar 200 juta orang hidup dalam kubangan kemiskinan. Mereka, menurut ukuran Bank Dunia, adalah yang hidup dengan uang US$ 1 – US$ 2 per hari! Lantas dimana kekayaan SDA kita yang dikeroyok para pemodal itu? Yang oleh pemerintah menyebut-nyebut sebagai usaha mensejahterakan rakyat dengan adanya investasi asing masuk Indonesia dan mengelolah SDA kita yang berlimpah ini? Katakan tambang emas dan tembaga yang depositnya terbesar ketiga dunia di Papua Barat, bukan lagi milyar rupiah tapi triliunan rupiah duit Indonesia yang tersimpan rapi dibumi Papua Barat dibawah kabur keluar oleh konglomerat besar hasil kompromi atau barter ekonomi - politik antara Jakarta - Pemodal dan negara-negara adidaya yang mempelopori gerakan menguasai ekonomi dunia ini.
Kekuatan ini tergolong besar, dasyat juga raksasa, hegemoni negara yang membangun barter ekonomi – politik dengan pemodal dan negara adidaya sebagai penopang menjadi tak terbantahkan dan sulit terlepas dari bentrokan dan benturan-benturan.
Kedua adalah gerakan demokrasi global yang ditopang oleh aliansi komunitas-komunitas kecil warga masyarakat yang kemudian populer dengan sebutan “global civil society”. Kekuatan global civil society ini telah melibatkan diri dalam berbagai pergerakan sosial konteporer, termasuk dalam memperjuangkan hak asasi manusia antara lain hak sipil, ekosob, hak-hak lingkungan, juga termasuk gerakan perdamaian, dan gerakan-gerakan kesadaran gender.
Aliansi ini memiliki ketergantungan yang besar kepada kekuatan swadaya para pendukungnya, ia benar-benar merupakan organisasi yang mandiri dan dipandu oleh komitmen yang dalam terhadap nilai-nilai demokrasi,kemanusiaan, kemasyarakatan, persamaan, dan jaringan internasional. Yang tergabung dalam kekuatan ini adalah kesatuan organisasi; agamawan, pencinta lingkungan, organisasi pemuda, masyarakat setempat, aktivis perdamaian dan Hak Asasi Manusia, pejuang peminis, kaum petani, dan lain-lain.
Dengan penuh keberanian, kelompok ini memainkan peran penting dalam memacetkan berbagai negoisasi-negoisasi antara negara – pemodal dan grup negara adidaya sebagai pendukung, sekalipun mereka berhadapan dengan peluru karet dan semprotan gas air mata yang disemburkan oleh pasukan polisi – sebagai alat dari negara dan pemodal ketika melakukan gerakan protes terhadap pemiskinan rakyat melalui usaha - usaha pertambangan mineral di Indonesia termasuk di Lembata, pulau kecil yang mungkin hampir tidak dikenal dalam peta nusantara ini.
Perhatian yang paling nyata adalah terhadap dampak meruaknya demokrasi politik dan korporasi ekonomi yang dalam pandangan – aktivis kekuatan ini hanya melahirkan pengayaan bagi segelintir kelompok dengan mengorbankan komunitas yang lebih besar, menggantikan demokrasi dengan kekuasaan yang dikendalikan oleh para elit konglomerasi dunia, menghancurkan system penopang tatanan kehidupan dan mengikis hubungan-hubungan atas dasar kesalingpercayaan dan kesalingpedulian, yang kesemuanya merupakan pondasi esensial dari masyarakat beradab.
Dua kekuatan yang saling bertentangan ini melangsungkan pertarungan heroik antara demokrasi populis dan kekuasaan korporasi global – antara civil society yang mengakui harkat kesetaraan berhadapan dengan masyarakat kapitalis yang mengorbankan kaum buruh dan petani demi kepentingan para pemilik modal. Pada lingkup yang paling mendasar, gelanggang itu adalah arena pertarungan antara manusia dan uang demi sebuah jiwa kemanusiaan.
Salah satu cengkraman pemodal (asing) yang menancap jantungnya Indonesia adalah melalui perebutan sumber daya alam di sektor pertambangan (mineral) di Indonesia, sumber daya yang tak terbarukan ini. Negara melalui pemerintah begitu gampang memberikan penjelasan ke publik bahwa datangnya investor (konglomerasi) ini dengan usaha menggali sumber daya alam kita adalah untuk dan demi kesejahteraan rakyat Indonesia, kemiskinan akan diturunkan bahkan diusir keluar dengan adanya para konglomerasi dunia yang masuk di Indonesia.
Tambang mineral dan pemiskinan
Hingga saat ini masyarakat Indonesia sangat rentan dan sulit keluar dari lubang kemiskinan. Dalam laporan Bank Dunia (WB) tahun 2006 menyebutkan bahwa hampir 42% dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan U$ 1- US$2-per hari. Data terakhir juga mengindikasikan tingkat pergerakan tinggi (masuk dan keluar) dalam kemiskinan, lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003.
Padahal Indonesia dengan strategi bangunan ekonomi pasar telah membuka pintu sebesar-besarnya bagi para pemodal asing dengan tujuan menggeser keluar masyarakat miskin Indonesia dari dapur mereka.
Data Bank Indonesia tahun 2006 menunjukkan per Desember 2005, penanaman modal asing di Indonesia mencapai angka US$ 13.579,3 juta, sedangkan modal dalam negeri sebesar Rp 50.577,4 miliar. Sementara dari sisi investasi, yang ditunjukkan dengan keluarnya ijin usaha tetap, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pada tahun 2005 terdapat 909 proyek asing dengan nilai investasi US$ 8.914,6 juta. Bandingkan dengan proyek penanaman modal dalam negeri di kurun yang sama sebesar Rp 30.665 miliar dengan total proyek 214.
Sebagai bahan perbandingan, negara-negara penghasil mineral di wilayah Sub - Sahara Afrika adalah negara yang oleh Bank Dunia dinyatakan sebagai negara yang menunjukkan kinerja yang sangat buruk disepanjang sejarah. Duabelas dari 25 negara yang mengandalkan kekayaan mineral, digolongkan Bank Dunia sebagai “negara miskin yang terbelit utang” – dan mendapat kategori sebagai negara paling buruk dan bermasalah.
Berbeda, negara-negara yang tidak bergantung kepada mineral tapi kaya (seperti Australia) lebih sedikit penduduk miskinnya dibandingkan dengan negara yang bergantung kepada mineral tapi miskin penduduknya (seperti Zambia).
Analisis kita, menemukan hubungan negatif yang kuat antara tingkat ketergantungan suatu negara terhadap kekayaan mineral dengan peringkat HDI. Semakin tinggi suatu negara mengandalkan ekspor mineral, semakin buruk standar penghidupannya. Lebih jauh lagi, sepanjang kurun 1990-an, negara-negara yang bergantung kepada kekayaan mineral mengalami kemunduran: semakin besar ketergantungan negara tersebut kepada mineral, semakin merosot peringkat HDI-nya. Negara-negara yang bergantung pada mineral seperti Zambia, Zimbabwe dan Kazakhstan termasuk negara-negara yang mengalami kemunduran luarbiasa.
Terlalu pagi kita membuat kesimpulan, tapi dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa tingkat ketergantungan kepada kekayaan mineral sangat kuat kaitannya dengan rendahnya standar hidup dan meningkatnya tingkat/angka kemiskinan. Ketergantungan kepada kekayaan mineral tidak secara langsung mengakibatkan kemiskinan, namun ketergantungan kepada mineral berhubungan pada mutu penyediaan sarana kesehatan dan pendidikan, yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan.
Kita harus mengakui bahwa tidak semua bentuk kegiatan ekonomi sama baik dalam mengusung pembangunan. Negara-negara yang mengembangkan sektor mineral memiliki titik berangkat pembangunan yang berbeda dibandingkan negara-negara yang mengembangkan pertanian, industri manufaktur dan sektor jasa.
Sektor pertambangan yang padat-modal dan industri sektor ini pula cenderung terkonsentrasi secara geografis dan menciptakan kantong kecil kemakmuran yang gagal menyebar; industri ini menimbulkan masalah lingkungan hidup dan sosial yang selalu menjadi beban kelompok miskin; sektor ini patuh kepada siklus inflasi-deflasi (boom-and-bust cycle) yang selalu menimbulkan rasa tidak aman bagi kelompok miskin; dan sektor ini biasanya dikendalikan oleh negara, atau perusahaan besar, yang mendorong dan menggiring tingginya angka korupsi, penindasan dan sengketa.
Freeport Indonesia (FI)
Papua Barat, daerah yang memiliki deposit emas terbesar nomor tiga dunia dan bahkan dikenal sebagai tambang emas raksasa yang dikelolah oleh Freeport Indonesia (FI) (merger antara Freeport Sulphur dan McMoran Oil & Gas Company, hingga 2005 total aset Freeport Indonesia mencapai 3.3 milyar US dolar, bumi papua barat yang kaya dengan emas dan tembaga tapi rakyat papua begitu miskin hingga hari ini, keadilan yang jauh panggang dari api. Fakta yang kontradiktif ini sesungguhnya membuka mata dan hati bagi semua orang bahwa bentuk politik ekonomi nasional yang diperankan oleh elit-elit kita di Jakarta adalah dengan sadar ingin menghancurkan dan memiskinkan daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Penduduk di Mimika/Papua jumlah penduduk aslinya hanya 35% sementara jumlah penduduk miskin dikawasan tersebut mencapai 50% ditahun 1996, padahal Mimika adalah pusat Freeport Indonesia beroperasi (sensus penduduk 2000, BPS).
Freeport McMoran adalah konglomerat raksasa dunia selaku pemilik Freeport Indonesia (FI) yang tengah beroperasi di negeri Papua sejak tahun 1981, berasal dari Amerika. Ia juga adalah pengusaha tambang belerang raksasa dilepas pantai teluk Mexico, energi panas bumi di Amerika dan memiliki pabrik peleburan tembaga di Spanyol. Freeport McMoran memiliki kedekatan dengan pejabat politik Amerika Serikat. Pimpinan perusahaan Freeport McMoran, John Hay Whitney adalah cucu Menteri Luar Negeri di era Theodore Roosevelt’s dan juga anggota partai Republik di New York yang secara finansial mendukung kampanye presiden produk partai Republik.
Melalui kesepakatan-kesepakatan politik, Whitney memiliki hubungan erat dengan departemen Pertahanan Amerika Serikat dan Badan Inteljen Amerika Serikat (CIA). Freeport ini memiliki hubungan bisnis dengan dinasti Rockefeller yang terbilang kuat di Amerika (the nation, Jul 31/Aug 7 1995, freeport & grasberg: A Chronology, by Robert Bryce, sep 2005).
Dari gambaran ini, siklus barter ekonomi - politik Jakarta, pemodal dan negara adidaya dapat dengan mudah dibaca. Negara begitu mudah membunuh anak negeri sendiri jika terjadi konflik antara masyarakat adat papua dan freeport Indonesia, pasti masyarakat adat setempat yang menjadi korban. Begitu muda bangsa ini dikatrol oleh pihak asing, begitu muda bangsa ini menggantung nasib pada pemodal. Yang untung adalah para elit Jakarta, dan yang makmur adalah orang asing pemilik perusahaan Freeport Indonesia di Amerika, penduduk setempat dibiarkan merana ditengah kelimpahan.
Sejak tahun 1975 – 2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumber daya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya, ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah dimaksud.
Meskipun, pendapatan domestik bruto (PDB) Papua Barat menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesia pada tahun 2005, tapi indeks pembangunan manusia (IPM) yang di ekspresikan dengan tingginya angka kemiskinan, angka kematian ibu hamil, berada diurutan ke 29 dari seluruh propinsi di Indonesia.
Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut justru berada dikawasan konsesi pertambangan PT FI yang mencapai angka diatas 35%. Padahal pada tahun 2006, PT FI mengumumkan pendapatan kotor 2005 mencapai angka US$ 4.1 milyar (setara 38 triliun rupiah), malah gaji dan tunjangan para petinggi PT FI tahun 2005, James Moffet, Chairman PT FI dan Richard Aderson, CEO PT FI sebesar US$ 77,3 juta dan tunjangan sebesar US$ 130 juta. Sementara pendapatan rata-rata penduduk Papua kurang dari US$ 240 per tahun. Atau bandingkan dengan penghasilan penduduk Mimika pada tahun yang sama, yang kurang dari US$ 132. Padahal menurut Freeport Indonesia ditahun 1992-2005 pemerintah pusat (Jakarta) mendapat keuntungan langsung dari FI sebesar US$ 3.8 milyar (36 triliun rupiah) walau tidak sebanding dengan biaya pemulihan lingkungan yang mencapai angka US$ 6,9 Milyar/tahun (tempo interaktif, 26 februari 2006). Keuntungan langsung yang begitu besar masuk Jakarta, lalu kenapa penduduk papua harus jatuh miskin hingga kini? entah...
Tambang emas di Lembata
Melewati Papua, kembali lihat Lembata/NTT. Pro – kontra tambang emas di Lembata dari tahun 2006 hingga kini belum berakhir. Bentrokan antar bentrokan telah terjadi sekalipun belum menimbulkan korban. Kekuatan – kekuatan yang digambarkan diatas adalah manivestasi dari apa yang sedang terjadi negeri ikan paus ini (Lembata). Pemerintah begitu ngotot agar kandungan emas di Lembata harus ditambang, bahkan pemerintah bertindak seolah sebagai juru penerang (humas) dari para pemodal, Merukh Interprises Corporatin yang berkoperatif dengan investor asing, joing dalam mengeruk dan menenggelamkan Lembata dengan investasi tambang emas. Tambang emas (golongan vital) tidak sama dengan tambang yang lain (golongan strategis), industri sekor ini begitu rakus dengan air, energi dan juga tanah. Lembata yang luas wilayahnya 10 kali lipat dari Papau akan hancur berkeping-keping, jika tambang emas di Lembata benar-benar terjadi sesuai rencana pemerinah. Skenario ini masih berlanjut, Ranperda RTRW tengah lagi menuai polemik, pemetaan wilayah pertambangan menjadi perdebatan kembali di gedung peten ina Lewoleba.
Jika demikian seyokyanya pemerintah menyiapkan sebuah lahan/tanah yang dapat menampung warga yang tuna nusantara, yang dapat menampung masyarakat Lembata yang tanah dan kampungnya yang telah tergadaikan itu, agar rakyat dapat hidup dengan tenang tanpa adanya intervensi, ancaman dan intimidasi secara terus menerus hanya karena soal tambang oleh para konglomerat dunia.
Di Lembata, pemerintah bahkan mayoritas DPRD menjadi corong, alat dari pemodal – penguasa dari pertarungan model ini untuk memperebutkan harta karun di bumi Lomblen berupa ihing wereng/emas dan sesegara mungkin dibawah keluar oleh pemodal. Keserakahan pemodal ini, ditopang oleh kekuatan besar dunia yang hampir merata mengisap kekayaan alam Indonesia juga dukungan dari pemerintah daerah membuat emas betul menjadi emas bagi pemodal.
Pemodal begitu gampang memperdayai pemerintah sebagai alat dan disisi lain pemerintah tidak menyadari dirinya yang tengah diperalat. Rakyat yang menolak kampung halamannya digusur untuk kepentingan tambang emas berlindung dibalik kekuatan setengah dasyat dari organisasi non - pemerintah (ornop) yang hanya berbasiskan anggota terbatas juga tidak ditopang oleh kekuatan financial yang cukup.
Kekuatan ornop ini di Lembata terbilang cukup, yang awal perintisan didedikasikan untuk pemajuan (promoting) dan pemberdayaan rakyat, membantu negara dalam membangun institusi – institusi rakyat ditingkat lokal, memfasilitasi antar komunitas rakyat, antar praktisi-praktisi lokal (komunitas adat, gender dll) sebagai penyambung gerakan tolak tambang di Lembata.
Ornop ini pula telah menunjukan eksistensinya sebagai institusi pejuang hak asasi manusia yang tak mengenal sekat dan pembauran budaya. Juga dimaksudkan untuk menyediakan analisis yang akurat dan memiliki legitimasi atas tantangan juga kesempatan untuk pembangunan manusia yang lebih berkelanjutan di Lembata disatu sisi.
Tapi disisi lain disitu ada kelemahan ornop, elemen ini mudah dipecahkan baik antar personal maupun antar ornop dan ornop secara lembaga, keegohan antar elemen/personal adalah wujud awal perpecahan.
Penulis masih teringat titik star gerakan tolak tambang di Lembata, saat itu sebagai Anggota DPRD yang suara dianggap sampah di DPRD harus melangkah turun dengan rakyat. Tanggal 26 oktober 2006 adalah titik awal gerakan dimulai ketika semua orang masih lelap dalam tidur, sementara Merukh Interprises dan Pemda Lembata sudah begitu matang untuk pengelolaan tambang emas di Leragere dan Kedang.
Berjalan kaki dari desa ke desa melakukan pemutaran film dan diskusi kampung tentang hal ihwal pertambangan di Indonesia dan rencana tambang di Lembata. Desa bean, tubung walang, atulaleng, walangsawah, mampir, benihading, panama adalah desa-desa yang awal kali dikunjungi bersama kru organizer antara lain; eman ubuk, piter kuma, piter bala wukak, anton leu maraq, meenthe simatauw dan alm.budi langoday.
Dari gerakan awal itu hingga ke pementukan aliansi diskusi sampai pada pembentukan organ lokal yang diberi nama BARAKSATU (barisan rakyat kedang bersatu). Awal Januari 2007, digagas pertemuan di lopo milik Servas Ladoangin (sekarang Anggota DPRD Lembata) yang terletak di utara pantai lamahora, mempertemukan baraksatu dari Kedang dan vokal (rintisan kawan-kawan Yaspensel) diLeragere. Disitu dirintis dan lahirlah Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL), karena bersifat Kon – Federasi maka FKTL dikomado oleh dua elemen (organ) yakni; baraksatu dari Kedang dan vokal dari Leragere bukan dipimpin oleh orang per-orang seperti yang dikenal sekarang.
Maret 2007, Lembata Center muncul dipermukaan dan bergerak pada muara yang sama yakni melakukan gerakan advokasi tolak tambang. Dalam perkembangan FKTL disulap menjadi corong dan digiring masuk dalam Lembata Center. FKTLpun pecah demikian juga baraksatu. Orang/organizer secara personal digesek, demikian juga lembaga advokasi lokal yang telah terbentuk FKTL. Pengalaman ini menjadi catatan bagi yang ingin menjadi organizer tolak tambang di Lembata dan Indonesia pada umumnya. Tanggalkan keegohan pribadi, singkirkan kepentingan-kepentingan pribadi yang terselubung yang sifatnya jangka pendek dll.
Tambang dan dampaknya tidak mengenal sekat-sekat sempit seperti yang dipikirkan oleh banyak orang, tapi tambang adalah peristiwa jangka panjang. Demikian pula tambang tidak bisa ditarik sedemikian muda ke rana politik yang temporer sifatnya, tapi tambang dengan segala implikasinya adalah jangka panjang sesuai perhitungan kemampuan lingkungan, daya dukung dan berbagai aspek sosial, budaya dan ekonomi suatu daerah dan bangsa dan lebih dari itu adalah menolak hegemoni ekonomi kapital yang menggusur tatanan politik ekonomi Indonesia yang telah digagas bung Hatta kemudian dikenal dengan ekonomi kerakyatan kemudian direduksi masuk kedalam pasal 33 UUD 1945 yang oleh kebanyakan orang telah salah menafsirnya itu**
Akhmad Bumi
Tambang emas, pertarungan heroik dua kekuatan
Posted by PAKET VIAT on 18.59
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
bagus artikelnya, boleh tau kah, bagaimana kondisi pertambangan emas di Lembata?
Posting Komentar