selamat datang di official Blog Paket VIAT untuk Kabupaten Lembata

Pergeseran Budaya




Terma Civil Society menjadi pemakaian aktual seiring dengan munculnya berbagai gerakan (demokrasi), yang diidentikan dengan gerakan demokrasi global dan terjadi dimana-mana. Terma ini tepatnya digunakan dalam dua cara : Pertama, untuk merujuk kepada prinsip demokrasi radikal, bahwa kehidupan civil society terpola atas dasar kebebasan dan kesamaan antar warga yang bertindak sesuai dengan kesadaran keadaban – bentuk masyarakat semacam inilah yang mulai dirintis oleh gerakan-gerakan demokrasi global. Kedua, adalah untuk mengidentifikasi organisasi dan gerakan civil society yang menginginkan terwujudnya otentisitas budaya, ekonomi, ruang politik kearah penciptaan yang diidealisasikan sebagai masyarakat sipil yang kuat dan menentukan.

Secara historis, terma civil society dapat dilacak pada masyarakat Yunani klasik, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh seorang filsuf terkenalnya, Aristoteles, dengan sebutan politike koinonia atau komunitas politik, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa latin sebagai societas civilis atau civil society.

Aristoles menggambarkan bahwa civil society sebagai komunitas politik dalam batas etika, yang bebas dan egaliter berdasarkan kebaikan dan sikap tanggungjawab yang dengan kesepakatan bersama hidup dibawah system hukum yang mengekspresikan norma-norma dan nilai-nilai masing-masing. Sebagai hukum legal adalah kodifikasi dari nilai-nilai budaya yang dipilih oleh anggota masyarakat sebagai jalan hidup, ia menjadi penguatan ekonomi diri yang besar – yang memaksimalisasi kebebasan individu dan meminimalisasi ketergantungan pada intervensi negara yang memaksa.

Ini adalah konsistensi ideal dengan kesadaran aktual kita tentang dasar-dasar organisasi dari system hidup yang sehat dan dengan memberikan kebebasan bagi potensi-potensi kreatif manusia.

Untuk menggarisbawahi konsep Aristoteles adalah pertanyaan yang telah lama diajukan oleh para filsuf politik: apakah sifat dasar asali dari masyarakat yang beradab – sebagai kontradiksi dari apa yang sampai sekarang diasumsikan sebagai kacaunya negara asali yang tidak beradab – dan bagaimanakah tatanan masyarakat beradab yang paling baik itu?.

Aristoteles mengambil dari sisi pemerintahan mandiri dan demokratis yang dibangun diatas dasar budaya yang mengandung etika kewargaan. Thomas Hobbes, yang mengikuti Aristoteles setelah 2000 tahun, adalah diantara banyak akademisi yang berpandangan skeptis terhadap “tabiat manusia”. Hobbes mengemukakan argumentnya, bahwa jika manusia harus memiliki tatanan masyarakat, mereka harus tunduk pada kekuasaan monarki absolute yang menggunakan kekuasaan untuk menekan agresivitas kita dan mempunyai naluri ekspansi hegemoni untuk mengontrol.

Isu tentang monarki sudah lama reda. Pilihan antara hirarki yang otoriter dan pemerintahan mandiri tentu saja juga sudah usang untuk diajukan. Korporasi sekarang ini sudah menjadi institusi pilihan diantara mereka yang ingin menentukan tatanan berdasar masyarakat tanpa negara yang menggunakan kekuasaan hirarki otoriter. Tentu saja para pendukung korporasi global metasbihkan diri mereka sebagai bomber dari demokrasi dan kemandirian pasar. Mereka mengabaikan fakta bahwa dibawah system korporasi global sekarang ini, perusahaan menjadi salah satu diantara lembaga-lembaga yang paling otoriter dan tidak terjamah yang pernah diciptakan oleh manusia, serta paling otoritatif diantara mereka yang mengatur ekonomi internal, lebih luas daripada yang seharusnya dilakukan oleh negara. Struktur internal mereka tidak mencerminkan dasar-dasar demokrasi maupun kemandirian pasar itu sendiri.

Konsepsi ideal dari civil society mengasumsikan bahwa kapasitas bagi kemandirian organisasi secara penuh berdasarkan perasaan bersama dalam kesatuan spiritual dari segala aspek kehidupan, inheren dengan jiwa kemanusiaan. Otentisitas budaya yang mengalir dari pengalaman yang otentik dari anggota-anggotanya adalah ruang lingkup utama dari kehidupan kolektif. Nilai-nilai budaya asli membawa kepada kehidupan ekonomi dan politik melalui partisipasi secara sadar dari setiap individu dalam membentuk institusi-institusi dan melakukan proses-proses yang dengannya masyarakat menyusun pemerintahannya (polity), mengalokasikan sumber dayanya untuk aktivitas produktif (economy), dan menetapkan bahwa keyakinan dan nilai adalah sumber dari arti dan identitasnya (culture).

Dalam civil society, institusi-institusi politik dan ekonomi adalah ciptaan dari warganya secara sadar, terefleksikan secara alami, memelihara nilai-nilai kehidupan, symbol-simbol, dan keyakinan dari budaya asli ciptaan mereka sendiri. Budaya ini, pada gilirannya, membuka partisipasi public mereka dalam urusan-urusan sosial politik masyarakat. Sistem yang merupakan bentuk perjanjian antar warga yang konstan ini menjamin bahwa lembaga-lembaga politik dan ekonomi itu tetap responsive terhadap kepentingan-kepentingan publik dan berkembang sebagai respons terhadap nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi dari budaya yang sedang berkembang.

Dalam corak sivil society seperti ini ; kekuatan dan nilai-nilai yang menentukan bagi masyarakat tersebut mengalir sebagai semangat hidup bagi warga masyarakat dan bagi lembaga-lembaga yang ada.

Berdasarkan pada keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai dari ceritra lama sebagaimana diekspresikan melalui budaya modern, maka dengan demikian, masyarakat kapitalis telah membuang spiritnya dan mencemarkan kehidupan, serta mengabaikan kapasitas manusia untuk bekerja sama dan berbagi. Uang adalah ukuran nilai. Hidup hanya dinilai dari harga yang diobral: sebatang pohon hanya diukur dari jumlah kepingan kayu yang dapat dihasilkan (tanpa mempedulikan akibat ekologis yang mungkin ditimbulkan dari penebangannya secara liar). Tujuan pribadi ditetapkan dalam rangka mengejar kepuasan materi.

***
Kompetisi untuk mendapatkan teritori dan keberlangsungan hidup adalah dasar dari hukum alam. Kita tidak dapat mengharapkan manusia agar jadi atau menjadi lebih dari sekedar binatang yang brutal, yang mengikuti aturan naluri untuk tetap bertahan hidup, bereproduksi, dan mencari selingan dari kesendirian melalui pengejaran kepuasan materi.

Fungsi utama dari adanya lembaga-lembaga dalam masyarakat beradab adalah agar dapat mendayagunakan hirarkhi struktur kontrol kelembagaan dan untuk menghubungkan gelapnya naluri kemanusiaan kita kearah produktivitas ekonomi.

Gambaran ini telah memiliki banyak konsekwensi positif. Ia membebaskan masyarakat dari tirani intelektual yang mematikan dan memberikan legitimasi untuk belajar melalui observasi empiris.

Pada saat yang sama, melalui pencemarannya terhadap kehidupan dan penolakannya terhadap makna, ia membimbing kearah ajaran bahwa uang adalah nilai tetap bagi masyarakat konteporer dan melahirkan etika hedonistik dari kepuasan diri secara material, menciptakan hirarkhi sosial, melakukan control terhadap lembaga raksasa semacam negara dan korporasi, dan menciptakan system ekonomi yang memunculkan kerakusan dan menghancurkan kehidupan. Ia tidak memberi kita alasan untuk hidup diluar penggunaan tekhnologi untuk menciptakan lebih banyak selingan yang sempurna.

Ia mendikte kita bahwa kita tidak memiliki sesuatu yang lebih tinggi untuk dicita-citakan selain memperturutkan diri kita dalam kemewahan materi, meskipun itu membebaskan kita dari pertanggungjawaban moral sebagai konsekwensi dari tindakan-tindakan yang dilakukan – sehingga mensetting sandiwara secara logis dan emosional bagi keterlibatan kita dalam kapitalisme dan kekuasaan korporasi global. Ia juga berbenturan dengan realitas pengalaman manusiawi dan temuan-temuan ilmu pengetahuan konteporer. Dari berbagai kelompok yang beredar, dapat digambarkan dengan tiga pengelompokan dibawah ini;

Pertama, Kelompok modernis, kelompok ini selalu berfikir tentang kemajuan materi dan menginginkan mereka kelak berada dalam keadaan lebih baik secara materi daripada kehidupan mereka saat ini. Untuk mewujudkannya, mereka mengagung-agungkan materi sebagai panduan untuk memperoleh uang juga kekayaan yang berlebih. Dalam mengejar kesuksesan materi, mereka cendrung menempuhnya meskipun diluar batas kemampuan mereka, bersikap sinis terhadap idealisme, serta hanya peduli dan menjalin hubungan dengan mereka-mereka yang sukses. Mereka adalah para pemimpin korporasi dan institusi paling berpengaruh di belahan dunia, mereka juga para kampiun kapitalisme. Jumlah mereka relatif bertambah. Mereka, memandang diri mereka sebagai tulang punggung dari rasionalitas, kemajuan tekhnologi, kemakmuran, dan kebebasan manusia – suatu benteng perlawanan terhadap kubu yang menurut pandangan mereka akan mengembalikan lagi manusia kedalam negara kuno yang primitif. Mereka melihat korporasi global dan pasar financial sebagai motor utama bagi kemajuan materi-mengkonversi sumber kemalasan para penghuni planet ini kearah tenaga siap pakai untuk mengoptimalkan keuntungan bagi semua. Jika pada kenyataannya (kemudian) institusi ini membuat kerusakan, itu adalah harga yang harus dibayar bagi kemajuan kearah realisasi kebaikan bersama yang lebih besar.

Kedua, Kelompok tradisional, kelompok ini menyikapi nilai-nilai materi dari modernisme dengan ajakan kembali kepada cara hidup tradisional, termasuk pembagian peran untu semua. Mereka yakin dengan prinsip saling tolong menolong, bekerja secara swadaya, menciptakan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tradisi. Mereka condong kearah konservatisme dan mungkin juga kearah rasisme serta fundamentalisme. Dan kelompok ini cendrung menurun dan hampir tidak bertahan diserang badai modernisme/kapitalis.

Ketiga, Kelompok kreator budaya, kelompok ini, mereka tumbuh secara perlahan dalam angka maupun prosentase. Mereka memiliki kesamaan pandangan dengan kalangan modernis dalam hal pentingnya suatu perubahan, tetapi menolak hedonisme materealistik, korporasi global dan konsumerisme budaya. Mereka sejalan dengan kalangan tradisional dalam perhatian terhadap hubungan-hubungan yang manusiawi, jika keikhlasan dan pentingnya berbuat jasa terhadap masyarakat, tapi menolak kecendrungan mereka pada subsistensi, ketertutupan diri, intoleransi dan keyakinan bahwa manusia berhak menguasai alam.

Secara umum, mereka adalah orang-orang optimis pada segala kemungkinan yang dapat terjadi pada diri manusia. Lebih jauh, mereka melihat bahwa dalam modernisme dan trdisionalisme selalu ada celah untuk mulai mengupayakan penciptaan ruang keterbukaan, menekankan pada kehidupan masyarakat yang bekerja demi semua. Mereka merupakan garda terdepan dalam aktivitas sosial dan perlindungan lingkungan hidup.

Tentu saja, merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap individu mereka terlibat dalam empat hingga enam kelompok berbeda yang bekerja untuk perubahan sosial dan lingkungan. Mereka dibekali dengan jiwa kepemimpinan untuk melakukan gerakan-gerakan paling progresif dan untuk berinisiatif, dan merekalah yang menggodok tema inti dari protes di berbagai belahan dunia.

Secara empiris, menunjukan bahwa pola-pola ini adalah bagian dari kecendrungan global secara umum. Pola demikian juga mengindikasikan hilangnya kepercayaan terhadap sejumlah institusi hirarkhis-termasuk pemerintahan – serta secara tepat menumbuhkan kepercayaan diri yang kuat. Ambisi untuk menggapai ekonomi mengalami kemunduran, ketika hasrat untuk mendapatkan pekerjaan yang berarti dan gairah untuk menemukan makna diri dan tujuan hidup kian meningkat.

Kepemimpinan dikalangan kreator budaya pada umumnya datang dari kalangan yang mengkombinasikan komitmen keluar kepada keluarga, masyarakat, lingkungan dan bahkan masyarakat luar negara, dengan kehidupan spiritual yang kaya. Mereka berintekrasi penuh dengan nilai-nilai budaya yang terintegral memberi makna hidupnya secara terhormat dari segala dimensi, baik dimensi dalam maupun dimensi luar.

Kesadaran sosial dari mereka tumbuh diluar kesadaran spiritual yaitu dari kesatuan hidup yang fundamental – sumber utama optimisme mereka tentang kemungkinan-kemungkinan pada manusia.

Kekuatan kreator budaya ini selalu melibatkan diri dalam pertumbuhan kepribadian. Mereka mempelopori tekhnik-tekhnik pengembangan psikologi, mengembalikan praktik spiritual yang diatur secara terpusat kearah yang lebih otonom dalam kehidupan sehari-hari, dan mengangkat peran penting ketika mereka berusaha untuk mewujudkan kembali kehidupan politik dan ekonomi agar menyatu dengan nilai-nilai mereka. Untuk tujuan ini, mereka juga berada pada garda depan dalam mewarnai pandangan dunia baru tentang ekologi dan spiritual, wacana baru tentang kepedulian sosial, dan agenda permasalahan baru tentang kemanusiaan.

Pengelompokan kultural yang digambarkan ini membawa kepada atensi terhadap pondasi cultural dari pertarungan antar kekuatan korporasi global dan kekuatan civil society global. Motivasi yang menggerakkan dua kekuatan itu lebih banyak berdasarkan afiliasi budaya dari pada kelas – meskipun korporasi global menciptakan kesenjangan kelas sosial.

Pandangan kaum modernis yang terfokus pada materialisme dan mengejar keuntungan individu menjadikan mereka sebagai konstituen alami bagi korporasi global. Budaya modern benar-benar memperlengkapi korporasi global dengan legitimasi yang menjadi pendukung utamanya. Meskipun para pendukung kapitalis perna mengalami kegagalan – dalam waktu yang lama saat mereka menganut nilai-nilai dan pandangan dunia modernisme, (namun) mereka masih terpikat oleh kemilaunya konsumerisme dan menghidupkan mimpi bahwa suatu hari seorang perempuan pembawa kemajuan akan tersenyum kepada mereka untuk memberi isyarat bahwa kelak mereka akan memenangkan undian.

Kaum tradisional juga memberikan konstribusi signifikan bagi upaya pelegitimasian terhadap beroperasinya kapitalisme melalui keyakinan mereka bahwa kesuksesan komersial adalah tanda dari kebajikan individu dan sesuatu yang anggun dimata Tuhan. Menurut orang-orang tradisionalis, mereka yang tidak terima terhadap (ketimpangan) pembagian kekayaan yang telah ditetapkan berarti menentang kehendak Tuhan, dan karena itu merupakan tindakan dosa.

Kalangan tradisi kreatif, sebaliknya; tidak segan-segan untuk melakukan penentangan terhadap berbagai kemapanan dalam segala dimensinya. Mereka tidak tertarik untuk melibatkan diri memperebutkan posisi-posisi kekuasaan yang eksis dan mapan, (sebaliknya) mereka lebih memilih untuk melakukan korporasi global akan menghadapi terkikisnya legitimasi moral mereka, dan dengan demikian juga otoritas mereka atas loyalitas orang kepada mereka mengalami hal sama – yang pada akhirnya membuka jalan bagi terbentukanya lembaga baru yang lain lebih bermartabat.

Ketiga kelompok diatas saling geser, saling klaim, bahkan sampai pada tingkatan bentrokan yang paling heroik, semuanya berkhotbah tentang pentingnya nilai-nilai kemanusian agar tidak terkapar dari yang diharapkan, pergeseran budaya mewarnai lingkup dan bentrokan antar ketiganya hingga hari ini.#

Oleh: Akhmad Bumi
Read more »

Tambang emas, pertarungan heroik dua kekuatan




Pro – kontra terhadap pertambangan di Indonesia, juga Lembata yang hari-hari terakhir diributkan tentang Ranperda RTRW (rencana tata ruang wilayah) yang tengah dibahas DPRD bahkan dua tahun terakhir Lembata (kabupaten mungil diujung pulau Flores ini) dililit konflik yang hampir tiada akhir. Menarik benang ijo dari tarik menarik (pro-kontra) apakah tambang emas di Lembata dapatkah ditambang atau tidak, secara makro dilihat dalam bentuk pertarungan dua kekuatan besar yang lagi menghantui Indonesia ini, yakni;



Pertama adalah kekuatan korporasi global yang progresif, karena didukung oleh aliansi antara perusahaan-perusahaan raksasa dunia dengan negara-negara adidaya. Agenda utama kekuatan ini adalah menyatukan ekonomi nasional negara-negara di seluruh dunia dalam tatanan ekonomi global yang tanpa batas, yang membebaskan perusahaan-perusahan multinasional tersebut untuk bergerak secara leluasa mengatur mobilitas barang dan uang tanpa intervensi dari negara setempat. Kekuatan ini didukung oleh kebanyakan negara-negara termasuk Indonesia yang sudah terjebak jauh dalam penerapan konsep ekonomi neo-liberalism.



Indonesia, membuka pintu sebesar-besarnya bagi pemodal asing. Data Bank Indonesia tahun 2006 menunjukkan per Desember 2005, penanaman modal asing di Indonesia mencapai angka US$ 13.579,3 juta, sedangkan modal dalam negeri sebesar Rp 50.577,4 miliar. Sementara dari sisi investasi, yang ditunjukkan dengan keluarnya ijin usaha tetap, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pada tahun 2005 terdapat 909 proyek asing dengan nilai investasi US$ 8.914,6 juta. Bandingkan dengan proyek penanaman modal dalam negeri di kurun yang sama sebesar Rp 30.665 miliar dengan total proyek 214.



Alasan klasik dengan adanya investasi itu (penanaman modal asing) laju kemiskinan di negeri ini akan terhempas jauh keluar. Kemiskinan kita (rakyat Indonesia) sejak bangsa ini dinyatakan merdeka hingga kini menjadi persoalan rumit bahkan dinyatakan sebagai musuh bangsa. Kemiskinan ini telah membelit bangsa ini bak ular kobra. Membelit, menjepit, hingga bangsa Indonesia sulit keluar dari jurang keterpurukan. Laporan Bank Dunia tahun 2006 menyebutkan 42% dari seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah sekitar 200 juta orang hidup dalam kubangan kemiskinan. Mereka, menurut ukuran Bank Dunia, adalah yang hidup dengan uang US$ 1 – US$ 2 per hari! Lantas dimana kekayaan SDA kita yang dikeroyok para pemodal itu? Yang oleh pemerintah menyebut-nyebut sebagai usaha mensejahterakan rakyat dengan adanya investasi asing masuk Indonesia dan mengelolah SDA kita yang berlimpah ini? Katakan tambang emas dan tembaga yang depositnya terbesar ketiga dunia di Papua Barat, bukan lagi milyar rupiah tapi triliunan rupiah duit Indonesia yang tersimpan rapi dibumi Papua Barat dibawah kabur keluar oleh konglomerat besar hasil kompromi atau barter ekonomi - politik antara Jakarta - Pemodal dan negara-negara adidaya yang mempelopori gerakan menguasai ekonomi dunia ini.



Kekuatan ini tergolong besar, dasyat juga raksasa, hegemoni negara yang membangun barter ekonomi – politik dengan pemodal dan negara adidaya sebagai penopang menjadi tak terbantahkan dan sulit terlepas dari bentrokan dan benturan-benturan.



Kedua adalah gerakan demokrasi global yang ditopang oleh aliansi komunitas-komunitas kecil warga masyarakat yang kemudian populer dengan sebutan “global civil society”. Kekuatan global civil society ini telah melibatkan diri dalam berbagai pergerakan sosial konteporer, termasuk dalam memperjuangkan hak asasi manusia antara lain hak sipil, ekosob, hak-hak lingkungan, juga termasuk gerakan perdamaian, dan gerakan-gerakan kesadaran gender.



Aliansi ini memiliki ketergantungan yang besar kepada kekuatan swadaya para pendukungnya, ia benar-benar merupakan organisasi yang mandiri dan dipandu oleh komitmen yang dalam terhadap nilai-nilai demokrasi,kemanusiaan, kemasyarakatan, persamaan, dan jaringan internasional. Yang tergabung dalam kekuatan ini adalah kesatuan organisasi; agamawan, pencinta lingkungan, organisasi pemuda, masyarakat setempat, aktivis perdamaian dan Hak Asasi Manusia, pejuang peminis, kaum petani, dan lain-lain.



Dengan penuh keberanian, kelompok ini memainkan peran penting dalam memacetkan berbagai negoisasi-negoisasi antara negara – pemodal dan grup negara adidaya sebagai pendukung, sekalipun mereka berhadapan dengan peluru karet dan semprotan gas air mata yang disemburkan oleh pasukan polisi – sebagai alat dari negara dan pemodal ketika melakukan gerakan protes terhadap pemiskinan rakyat melalui usaha - usaha pertambangan mineral di Indonesia termasuk di Lembata, pulau kecil yang mungkin hampir tidak dikenal dalam peta nusantara ini.



Perhatian yang paling nyata adalah terhadap dampak meruaknya demokrasi politik dan korporasi ekonomi yang dalam pandangan – aktivis kekuatan ini hanya melahirkan pengayaan bagi segelintir kelompok dengan mengorbankan komunitas yang lebih besar, menggantikan demokrasi dengan kekuasaan yang dikendalikan oleh para elit konglomerasi dunia, menghancurkan system penopang tatanan kehidupan dan mengikis hubungan-hubungan atas dasar kesalingpercayaan dan kesalingpedulian, yang kesemuanya merupakan pondasi esensial dari masyarakat beradab.



Dua kekuatan yang saling bertentangan ini melangsungkan pertarungan heroik antara demokrasi populis dan kekuasaan korporasi global – antara civil society yang mengakui harkat kesetaraan berhadapan dengan masyarakat kapitalis yang mengorbankan kaum buruh dan petani demi kepentingan para pemilik modal. Pada lingkup yang paling mendasar, gelanggang itu adalah arena pertarungan antara manusia dan uang demi sebuah jiwa kemanusiaan.



Salah satu cengkraman pemodal (asing) yang menancap jantungnya Indonesia adalah melalui perebutan sumber daya alam di sektor pertambangan (mineral) di Indonesia, sumber daya yang tak terbarukan ini. Negara melalui pemerintah begitu gampang memberikan penjelasan ke publik bahwa datangnya investor (konglomerasi) ini dengan usaha menggali sumber daya alam kita adalah untuk dan demi kesejahteraan rakyat Indonesia, kemiskinan akan diturunkan bahkan diusir keluar dengan adanya para konglomerasi dunia yang masuk di Indonesia.



Tambang mineral dan pemiskinan

Hingga saat ini masyarakat Indonesia sangat rentan dan sulit keluar dari lubang kemiskinan. Dalam laporan Bank Dunia (WB) tahun 2006 menyebutkan bahwa hampir 42% dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan U$ 1- US$2-per hari. Data terakhir juga mengindikasikan tingkat pergerakan tinggi (masuk dan keluar) dalam kemiskinan, lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003.



Padahal Indonesia dengan strategi bangunan ekonomi pasar telah membuka pintu sebesar-besarnya bagi para pemodal asing dengan tujuan menggeser keluar masyarakat miskin Indonesia dari dapur mereka.



Data Bank Indonesia tahun 2006 menunjukkan per Desember 2005, penanaman modal asing di Indonesia mencapai angka US$ 13.579,3 juta, sedangkan modal dalam negeri sebesar Rp 50.577,4 miliar. Sementara dari sisi investasi, yang ditunjukkan dengan keluarnya ijin usaha tetap, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pada tahun 2005 terdapat 909 proyek asing dengan nilai investasi US$ 8.914,6 juta. Bandingkan dengan proyek penanaman modal dalam negeri di kurun yang sama sebesar Rp 30.665 miliar dengan total proyek 214.



Sebagai bahan perbandingan, negara-negara penghasil mineral di wilayah Sub - Sahara Afrika adalah negara yang oleh Bank Dunia dinyatakan sebagai negara yang menunjukkan kinerja yang sangat buruk disepanjang sejarah. Duabelas dari 25 negara yang mengandalkan kekayaan mineral, digolongkan Bank Dunia sebagai “negara miskin yang terbelit utang” – dan mendapat kategori sebagai negara paling buruk dan bermasalah.



Berbeda, negara-negara yang tidak bergantung kepada mineral tapi kaya (seperti Australia) lebih sedikit penduduk miskinnya dibandingkan dengan negara yang bergantung kepada mineral tapi miskin penduduknya (seperti Zambia).



Analisis kita, menemukan hubungan negatif yang kuat antara tingkat ketergantungan suatu negara terhadap kekayaan mineral dengan peringkat HDI. Semakin tinggi suatu negara mengandalkan ekspor mineral, semakin buruk standar penghidupannya. Lebih jauh lagi, sepanjang kurun 1990-an, negara-negara yang bergantung kepada kekayaan mineral mengalami kemunduran: semakin besar ketergantungan negara tersebut kepada mineral, semakin merosot peringkat HDI-nya. Negara-negara yang bergantung pada mineral seperti Zambia, Zimbabwe dan Kazakhstan termasuk negara-negara yang mengalami kemunduran luarbiasa.



Terlalu pagi kita membuat kesimpulan, tapi dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa tingkat ketergantungan kepada kekayaan mineral sangat kuat kaitannya dengan rendahnya standar hidup dan meningkatnya tingkat/angka kemiskinan. Ketergantungan kepada kekayaan mineral tidak secara langsung mengakibatkan kemiskinan, namun ketergantungan kepada mineral berhubungan pada mutu penyediaan sarana kesehatan dan pendidikan, yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan.



Kita harus mengakui bahwa tidak semua bentuk kegiatan ekonomi sama baik dalam mengusung pembangunan. Negara-negara yang mengembangkan sektor mineral memiliki titik berangkat pembangunan yang berbeda dibandingkan negara-negara yang mengembangkan pertanian, industri manufaktur dan sektor jasa.



Sektor pertambangan yang padat-modal dan industri sektor ini pula cenderung terkonsentrasi secara geografis dan menciptakan kantong kecil kemakmuran yang gagal menyebar; industri ini menimbulkan masalah lingkungan hidup dan sosial yang selalu menjadi beban kelompok miskin; sektor ini patuh kepada siklus inflasi-deflasi (boom-and-bust cycle) yang selalu menimbulkan rasa tidak aman bagi kelompok miskin; dan sektor ini biasanya dikendalikan oleh negara, atau perusahaan besar, yang mendorong dan menggiring tingginya angka korupsi, penindasan dan sengketa.



Freeport Indonesia (FI)

Papua Barat, daerah yang memiliki deposit emas terbesar nomor tiga dunia dan bahkan dikenal sebagai tambang emas raksasa yang dikelolah oleh Freeport Indonesia (FI) (merger antara Freeport Sulphur dan McMoran Oil & Gas Company, hingga 2005 total aset Freeport Indonesia mencapai 3.3 milyar US dolar, bumi papua barat yang kaya dengan emas dan tembaga tapi rakyat papua begitu miskin hingga hari ini, keadilan yang jauh panggang dari api. Fakta yang kontradiktif ini sesungguhnya membuka mata dan hati bagi semua orang bahwa bentuk politik ekonomi nasional yang diperankan oleh elit-elit kita di Jakarta adalah dengan sadar ingin menghancurkan dan memiskinkan daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Penduduk di Mimika/Papua jumlah penduduk aslinya hanya 35% sementara jumlah penduduk miskin dikawasan tersebut mencapai 50% ditahun 1996, padahal Mimika adalah pusat Freeport Indonesia beroperasi (sensus penduduk 2000, BPS).



Freeport McMoran adalah konglomerat raksasa dunia selaku pemilik Freeport Indonesia (FI) yang tengah beroperasi di negeri Papua sejak tahun 1981, berasal dari Amerika. Ia juga adalah pengusaha tambang belerang raksasa dilepas pantai teluk Mexico, energi panas bumi di Amerika dan memiliki pabrik peleburan tembaga di Spanyol. Freeport McMoran memiliki kedekatan dengan pejabat politik Amerika Serikat. Pimpinan perusahaan Freeport McMoran, John Hay Whitney adalah cucu Menteri Luar Negeri di era Theodore Roosevelt’s dan juga anggota partai Republik di New York yang secara finansial mendukung kampanye presiden produk partai Republik.



Melalui kesepakatan-kesepakatan politik, Whitney memiliki hubungan erat dengan departemen Pertahanan Amerika Serikat dan Badan Inteljen Amerika Serikat (CIA). Freeport ini memiliki hubungan bisnis dengan dinasti Rockefeller yang terbilang kuat di Amerika (the nation, Jul 31/Aug 7 1995, freeport & grasberg: A Chronology, by Robert Bryce, sep 2005).



Dari gambaran ini, siklus barter ekonomi - politik Jakarta, pemodal dan negara adidaya dapat dengan mudah dibaca. Negara begitu mudah membunuh anak negeri sendiri jika terjadi konflik antara masyarakat adat papua dan freeport Indonesia, pasti masyarakat adat setempat yang menjadi korban. Begitu muda bangsa ini dikatrol oleh pihak asing, begitu muda bangsa ini menggantung nasib pada pemodal. Yang untung adalah para elit Jakarta, dan yang makmur adalah orang asing pemilik perusahaan Freeport Indonesia di Amerika, penduduk setempat dibiarkan merana ditengah kelimpahan.



Sejak tahun 1975 – 2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumber daya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya, ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah dimaksud.



Meskipun, pendapatan domestik bruto (PDB) Papua Barat menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesia pada tahun 2005, tapi indeks pembangunan manusia (IPM) yang di ekspresikan dengan tingginya angka kemiskinan, angka kematian ibu hamil, berada diurutan ke 29 dari seluruh propinsi di Indonesia.



Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut justru berada dikawasan konsesi pertambangan PT FI yang mencapai angka diatas 35%. Padahal pada tahun 2006, PT FI mengumumkan pendapatan kotor 2005 mencapai angka US$ 4.1 milyar (setara 38 triliun rupiah), malah gaji dan tunjangan para petinggi PT FI tahun 2005, James Moffet, Chairman PT FI dan Richard Aderson, CEO PT FI sebesar US$ 77,3 juta dan tunjangan sebesar US$ 130 juta. Sementara pendapatan rata-rata penduduk Papua kurang dari US$ 240 per tahun. Atau bandingkan dengan penghasilan penduduk Mimika pada tahun yang sama, yang kurang dari US$ 132. Padahal menurut Freeport Indonesia ditahun 1992-2005 pemerintah pusat (Jakarta) mendapat keuntungan langsung dari FI sebesar US$ 3.8 milyar (36 triliun rupiah) walau tidak sebanding dengan biaya pemulihan lingkungan yang mencapai angka US$ 6,9 Milyar/tahun (tempo interaktif, 26 februari 2006). Keuntungan langsung yang begitu besar masuk Jakarta, lalu kenapa penduduk papua harus jatuh miskin hingga kini? entah...



Tambang emas di Lembata



Melewati Papua, kembali lihat Lembata/NTT. Pro – kontra tambang emas di Lembata dari tahun 2006 hingga kini belum berakhir. Bentrokan antar bentrokan telah terjadi sekalipun belum menimbulkan korban. Kekuatan – kekuatan yang digambarkan diatas adalah manivestasi dari apa yang sedang terjadi negeri ikan paus ini (Lembata). Pemerintah begitu ngotot agar kandungan emas di Lembata harus ditambang, bahkan pemerintah bertindak seolah sebagai juru penerang (humas) dari para pemodal, Merukh Interprises Corporatin yang berkoperatif dengan investor asing, joing dalam mengeruk dan menenggelamkan Lembata dengan investasi tambang emas. Tambang emas (golongan vital) tidak sama dengan tambang yang lain (golongan strategis), industri sekor ini begitu rakus dengan air, energi dan juga tanah. Lembata yang luas wilayahnya 10 kali lipat dari Papau akan hancur berkeping-keping, jika tambang emas di Lembata benar-benar terjadi sesuai rencana pemerinah. Skenario ini masih berlanjut, Ranperda RTRW tengah lagi menuai polemik, pemetaan wilayah pertambangan menjadi perdebatan kembali di gedung peten ina Lewoleba.



Jika demikian seyokyanya pemerintah menyiapkan sebuah lahan/tanah yang dapat menampung warga yang tuna nusantara, yang dapat menampung masyarakat Lembata yang tanah dan kampungnya yang telah tergadaikan itu, agar rakyat dapat hidup dengan tenang tanpa adanya intervensi, ancaman dan intimidasi secara terus menerus hanya karena soal tambang oleh para konglomerat dunia.



Di Lembata, pemerintah bahkan mayoritas DPRD menjadi corong, alat dari pemodal – penguasa dari pertarungan model ini untuk memperebutkan harta karun di bumi Lomblen berupa ihing wereng/emas dan sesegara mungkin dibawah keluar oleh pemodal. Keserakahan pemodal ini, ditopang oleh kekuatan besar dunia yang hampir merata mengisap kekayaan alam Indonesia juga dukungan dari pemerintah daerah membuat emas betul menjadi emas bagi pemodal.



Pemodal begitu gampang memperdayai pemerintah sebagai alat dan disisi lain pemerintah tidak menyadari dirinya yang tengah diperalat. Rakyat yang menolak kampung halamannya digusur untuk kepentingan tambang emas berlindung dibalik kekuatan setengah dasyat dari organisasi non - pemerintah (ornop) yang hanya berbasiskan anggota terbatas juga tidak ditopang oleh kekuatan financial yang cukup.



Kekuatan ornop ini di Lembata terbilang cukup, yang awal perintisan didedikasikan untuk pemajuan (promoting) dan pemberdayaan rakyat, membantu negara dalam membangun institusi – institusi rakyat ditingkat lokal, memfasilitasi antar komunitas rakyat, antar praktisi-praktisi lokal (komunitas adat, gender dll) sebagai penyambung gerakan tolak tambang di Lembata.



Ornop ini pula telah menunjukan eksistensinya sebagai institusi pejuang hak asasi manusia yang tak mengenal sekat dan pembauran budaya. Juga dimaksudkan untuk menyediakan analisis yang akurat dan memiliki legitimasi atas tantangan juga kesempatan untuk pembangunan manusia yang lebih berkelanjutan di Lembata disatu sisi.



Tapi disisi lain disitu ada kelemahan ornop, elemen ini mudah dipecahkan baik antar personal maupun antar ornop dan ornop secara lembaga, keegohan antar elemen/personal adalah wujud awal perpecahan.



Penulis masih teringat titik star gerakan tolak tambang di Lembata, saat itu sebagai Anggota DPRD yang suara dianggap sampah di DPRD harus melangkah turun dengan rakyat. Tanggal 26 oktober 2006 adalah titik awal gerakan dimulai ketika semua orang masih lelap dalam tidur, sementara Merukh Interprises dan Pemda Lembata sudah begitu matang untuk pengelolaan tambang emas di Leragere dan Kedang.



Berjalan kaki dari desa ke desa melakukan pemutaran film dan diskusi kampung tentang hal ihwal pertambangan di Indonesia dan rencana tambang di Lembata. Desa bean, tubung walang, atulaleng, walangsawah, mampir, benihading, panama adalah desa-desa yang awal kali dikunjungi bersama kru organizer antara lain; eman ubuk, piter kuma, piter bala wukak, anton leu maraq, meenthe simatauw dan alm.budi langoday.



Dari gerakan awal itu hingga ke pementukan aliansi diskusi sampai pada pembentukan organ lokal yang diberi nama BARAKSATU (barisan rakyat kedang bersatu). Awal Januari 2007, digagas pertemuan di lopo milik Servas Ladoangin (sekarang Anggota DPRD Lembata) yang terletak di utara pantai lamahora, mempertemukan baraksatu dari Kedang dan vokal (rintisan kawan-kawan Yaspensel) diLeragere. Disitu dirintis dan lahirlah Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL), karena bersifat Kon – Federasi maka FKTL dikomado oleh dua elemen (organ) yakni; baraksatu dari Kedang dan vokal dari Leragere bukan dipimpin oleh orang per-orang seperti yang dikenal sekarang.



Maret 2007, Lembata Center muncul dipermukaan dan bergerak pada muara yang sama yakni melakukan gerakan advokasi tolak tambang. Dalam perkembangan FKTL disulap menjadi corong dan digiring masuk dalam Lembata Center. FKTLpun pecah demikian juga baraksatu. Orang/organizer secara personal digesek, demikian juga lembaga advokasi lokal yang telah terbentuk FKTL. Pengalaman ini menjadi catatan bagi yang ingin menjadi organizer tolak tambang di Lembata dan Indonesia pada umumnya. Tanggalkan keegohan pribadi, singkirkan kepentingan-kepentingan pribadi yang terselubung yang sifatnya jangka pendek dll.



Tambang dan dampaknya tidak mengenal sekat-sekat sempit seperti yang dipikirkan oleh banyak orang, tapi tambang adalah peristiwa jangka panjang. Demikian pula tambang tidak bisa ditarik sedemikian muda ke rana politik yang temporer sifatnya, tapi tambang dengan segala implikasinya adalah jangka panjang sesuai perhitungan kemampuan lingkungan, daya dukung dan berbagai aspek sosial, budaya dan ekonomi suatu daerah dan bangsa dan lebih dari itu adalah menolak hegemoni ekonomi kapital yang menggusur tatanan politik ekonomi Indonesia yang telah digagas bung Hatta kemudian dikenal dengan ekonomi kerakyatan kemudian direduksi masuk kedalam pasal 33 UUD 1945 yang oleh kebanyakan orang telah salah menafsirnya itu**

Akhmad Bumi
Read more »

Kritik itu modal, bukan momok

Indonesia adalah bangsa yang besar, dihuni oleh lebih dari 200juta jiwa penduduk. Jalan panjang telah dilalui oleh bangsa ini, dari merebut hingga mengisi kemerdekaan. Hiruk pikuk bangsa ini hampir tak luput dari kemelut, konflik hingga berbau kritik-kritik sosial dari berbagai masalah yang muncul.



Setiap kritik yang dilayangkan pada yang berkuasa acapkali dituding telah menghina dan merongrong wibawa bangsa dan negara. Mungkin pemerintah kehabisan jawaban dalam menghadapi berbagai kritik-kritik sosial yang dilancarkan banyak kalangan baik sipil maupun militer (TNI) ketika kritik- kritik yang ditujukan kepadanya dituding sebagai cara menjelek-jelekkan bangsa.



Tudingan model ini, kemudian melahirkan stigma buruk kekuasaan pada dasarnya bisa diartikan sebagai upaya mengurangi kewajiban negara untuk melindungi hak atas kemerdekaan menyampaikan pendapat.



Apakah menghadapi suatu kritik sosial saat ini harus dibalas dengan cara mengadili, memecat, membuat konspirasi, menculik, membunuh, sebagaimana yang sebelumnya pernah ditempuh oleh para penguasa Orde Baru? Tudingan yang ditujukan kepada para pengkritik sebagai menjelek-jelekkan bangsa bersumber dari produk Orde Baru. Apakah tudingan yang sama hendak dijadikan untuk membungkam kaum yang memberikan kritik?



Bangsa bukanlah pemerintah (government) dan negara (state). Bangsa dan pemerintah adalah dua hal yang berbeda. Istilah bangsa berawal dari konsep negara-bangsa (nation-state) yang diperkenalkan teori negara hukum menyusul terbentuknya negara konstitusional di negeri-negeri (countries) di kawasan Eropa Barat pada abad ke-18.



Memang negara-bangsa dibentuk dengan pengandaian adanya identitas bangsa, kewenangan atas suatu wilayah, serta lembaga-lembaga negara yang berdaulat dan diatur dalam konstitusi. Karena itu, negara dan kekuasaannya yang dioperasikan oleh para penguasa kolonial di suatu negeri yang dihuni bangsa lain tak disebut sebagai negara bangsa yang berdaulat.



Kritik

Kritik yang ditujukan kepada pemerintah dan disampaikan, terutama kepada Presiden RI, jelaslah melenceng jika dituding menjelek-jelekkan bangsa. Pendapat mereka yang mengungkapkan keterpurukan banyak orang haruslah ditengok sebagai kritik sosial dan juga bentuk keprihatinan mereka atas situasi yang membelit dan mengakibatkan sebagian orang hidup menderita.



Di samping wewenang dalam menggunakan perangkat kekuasaan yang dimiliki, pemerintah juga dituntut untuk menjalankan fungsi, kewajiban, dan tanggung jawab umum atas WNI atau bangsa yang berada dalam yurisdiksinya, baik berdasarkan UUD maupun hukum internasional, terutama yang telah diratifikasinya.



Tentu timbul pertanyaan yang memprihatinkan ketika menyaksikan berbagai kesulitan yang dihadapi banyak WNI, seperti korupsi yang kian mengakar diinduk kekuasaan, penyelewengan dana dan aset-aset negara, kedaulatan bangsa diobok-obok oleh bangsa lain, pengangguran yang meningkat dan sempitnya lapangan usaha, penghancuran rumah-rumah penduduk dan kios-kios pedagang, merosotnya tingkat upah riil pekerja, jutaan anak tak menikmati pendidikan, terus terjadi korban di kalangan penduduk sipil di daerah konflik, serta derita mereka yang terkena bencana alam dan wabah penyakit.



Pertanyaan kritis atas situasi itu adalah apa kontribusi pemerintah dalam menjalankan kebijakan dan programnya dengan APBN dan fasilitas yang tersedia? Apa saja yang telah dikerjakan pemerintah dan apa hasilnya?



Kritik atas pemerintah juga dapat dilakukan melalui perbandingan dengan pemerintah asing. Misalnya, apa yang membedakan pemerintah RI dengan pemerintah India atau Jepang untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa maupun melindungi warganya?



Bukankah sejumlah pejabat teras pemerintah dapat belajar dari pengalaman sukses pemerintah asing yang telah mereka kunjungi, katakanlah sebagai studi banding? Bukankah juga para anggota DPR tak ketinggalan melakukan studi banding ke beberapa negeri? Apa hasil yang dicapai dari semua itu?



Pada dasarnya, pemerintah tidaklah bisa berdiri dan beroperasi hanya demi kepentingan para pejabat dan birokrat maupun segelintir orang di masyarakat. Pemerintah bukanlah untuk dirinya sendiri, sebaliknya ada tekanan untuk menunaikan kewajibannya atas kepentingan umum.



Sesungguhnya kritik sosial akan membuat pemerintah memiliki pengawas gratis dapat mengetahui kekeliruan atau kesalahannya jika berniat memperbaiki kinerjanya. Begitu juga seharusnya pemerintah tak perlu sesal dengan soal cara dalam menyampaikan kritik. Sejauh bukan tergolong perbuatan pidana dan menggunakan kekerasan, semua kritik adalah sah atau legal.



Pemerintah seharusnya terbuka atas kritik, terutama bertalian dengan kepentingan umum yang wajib dilayaninya atau hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang wajib dipenuhinya.



Persoalannya, situasi di tingkat negara telah berubah. Kekuasaan besar dan terpusat seperti di bawah Orde Baru telah berakhir, sementara berbagai kelompok dalam masyarakat telah menunjukkan kemajuan partisipasinya dalam menyampaikan kritik atau kebebasan berpendapat dan kritik adalah modal bukan momok pemerintah dalam berkuasa**.

Akhmad Bumi
Read more »

Energi Fosil versus Energi Alternatif (Catatan, menyertai studi banding panas bumi di Bandung)

Hingga saat ini, Indonesia masih bergantung pada BBM fosil (solar, bensin, minyak tanah) sebagai energi penghidupan. Padahal energi alternatif cukup menjanjikan; panas bumi (geothermal) juga biomassa (biomass), tenaga matahari, tenaga laut, tenaga angin dan tenaga baterei.



Cerita energi alternatif, teringat alm. Rudolf Diesel, penggagas yang memperkenalkan motor-bakar ciptaannya yang digerakkan dengan bahan bakar minyak nabati sebagai energi alternatif. Sayang, penggagas itu harus tewas secara misteri, terjatuh dari fery diatas teluk Inggris tahun 1913. Banyak spekulasi terhadap tewas alm. Rudolf, diduga adanya persekongkolan jahat dari para pemain kartel minyak dunia yang merasa terancam dengan temuan Rudolf atas energi alternatif. Alm. Rudolf menjadi catatan dan permenungan kita, ketika kita diperhadapkan antara energi fosil versus energi alternatif. Adalah menarik jika kita mencoba menarik benang kuningnya; antara pemodal dan penguasa yang terelaborasi dengan negara-negara adikuasa yang berada dalam jaringan/pemain kartel minyak dunia (energi fosil) ini.



Sekedar catatan juga kita berandai-andai dengan menarik benang kuning dalam memotret distribusi minyak fosil dunia, siapa sebenarnya yang lebih berkuasa (adikuasa/adidaya) atas bisnis setan ini; salah satunya adalah terbaca atas ketidakadilan dalam pembagaian antara negara kaya dan negara miskin, utara dan selatan, negara maju dan baru berkembang, bekas penjajah dengan bekas negara jajahannya. Tahun 1995; total konsumsi energi sekitar 5,7 milyar penduduk dunia adalah 362,24 kuadrilyun BTU (British Thermal Unit). Penduduk Amerika Utara dan seluruh Eropa yang hanya 20,1% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 59,1% energi dunia, Afrika dan Amerika Latin yang 21,4% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 10,3%, Jepang sendiri yang hanya berpenduduk 2,2% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 5,9% energi dunia, negara kaya timur tengah yang penduduknya 3,7% dari penduduk dunia, mengkonsumsi 4,6%. Bandingkan dengan gabungan negara-negara Asia Timur, Selatan dan Tenggara, Oceania dan Australia yang berpenduduk 53,6% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 20,7% energi dunia, lambang ketidakadilan global. (Laporan Congressional Research Services (CRS) tahun 1985 dan 2003 kepada Komite Energi di Kongres AS).



Dengan catatan itu, diperkuat dengan tidak berjalan normalnya proyek energi alternatif di Indonesia walau memiliki prospek, menjadi alasan begitu sinisme rakyat terhadap proyek ini yang periode akhir-akhir ini di Lembata/NTT menjadi diskursus penting soal energi panas bumi, dengan adanya gerombolan studi banding ke Bandung pekan lalu. Sinisme rakyat adalah terkait keseriusan Jakarta (grup Jakarta) yang menjalin sekutu bisnis (barter ekonomi-politik) dengan kelompok kapital kakap yang dikenal sebagai pemain kartel minyak dunia, apa begitu serius untuk mengoptimalkan energi alternatif yang salah satunya adalah panas bumi, ataukah serius tapi hanya bertopengkan energi alternatif tapi dibalik dari itu adalahi agenda liberalisasi dengan model terbaru yang akan pula menohok batang leher kita dikemudian hari.



Energi alternatif di Indonesia begitu prospek, termasuk di NTT. Panas bumi di Bajawa/NTT sudah lebih dari sepuluh tahun tercecer tanpa kepastian (produktif), kini Lembata mendapat giliran setelah PT Weslindo Utama Karya tampil sebagai pemenang tender atas proyek pengeboran panas bumi di Desa Watuwawer, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata yang mengalahkan rival utamanya PT Merukh Atadei Enterprices. Semoga ini tidak hanya menjadi proyek dan kata-kata indah, dengan hanya mencari kenikmatan baru dibalik proyek ini. Tapi, aksi produksinya harus bermanfaat buat rakyat. Jika ini benar-benar terjadi, maka 2000 kilo liter atau sama dengan dua juta liter BBM fosil (masing-masing solar, bensin dan minyak tanah) yang setiap bulan disuplai oleh pertamina masuk Lembata menjadi kehilangan total. Relahkah pertamina dan kroninya yang bermain dibalik jargon pertamina ini melepas pergikan rezeki Tuhan yang mengalir ratusan milyarsetiap tahun dari Lembata? Lalu siapakah dibalik pertamina itu?.Jika ditelusuri, maka lagunya semakin panjang.



Selain 2juta liter dari Lembata yang dipasok pertamina setiap bulan, dari cacatan JEIT tahun 2005 untuk kota Kupang/NTT, pertamina membawa keluar uang dari kota Kupang dari pengguna BBM sekitar Rp.1.551.560.600.000, angka yang begitu fantastis melebihi 300% dari APBD kota Kupang. Secara keseluruhan total pemakaian BBM di NTT sebesar 5,4 milyar atau sekitar 500 juta liter per tahun. Akan tetapi pertamina sebagai penyalur BBM tidak mampu memberikan layanan dan jaminan atas ketersediaan BBM yang memadai, sering terjadi kelangkaan dan ketidakadilan dalam pendistribusian antar wilayah/kepulauan. Hal ini tidak sebanding dengan penyedotan uang triliun rupiah milik rakyat dan membawah keluar dari NTT.



Perhitungan logis demikian dalam takaran bisnis atau barter ekonomi-politik oleh para pemain minyak fosil, membuat kita begitu ragu dengan usaha penerapan energi alternatif di Indonesia oleh grup Jakarta yang dikendalikan oleh kementrian ESDM termasuk saat ini di Lembata untuk panas bumi.



Alasan lain; Indonesia sendiri, menjadikan energi BBM fosil sebagai sumber pendapatan devisa negara yang dianggap besar. Tahun 2001/2002 sekitar 35-41% disedot sebagai pendapatan/devisa negara. Sekalipun grup Jakarta menyadari implikasinya, disatu sisi untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar dunia walau harus terjadi penghisapan besar-besaran pada negara yang kaya akan MIGAS, tapi disisi lain energi BBM fosil nasional kita sudah begitu mengkhawatirkan dan terancam ambruk karena cadangan terbatas.



Laporan Kasubdin Konservasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Maryan Ayuni ((Effendy Syarif, 2004).) cadangan produksi minyak bumi Indonesia hanya bertahan hingga 10 tahun, gas alam 30 tahun, dan batubara 50 tahun. Cadangan semakin berkurang, sementara konsumsi energi nasional meningkat pesat (rata-rata 10% per tahun). Hal itu adalah peringatan yang serius terhadap kita bukan semata ketakutan akan habisnya cadangan energi tapi jauh lebih mengkhawatirkan adalah dampak pemakaian dan ikutan lainnya. Karena pembakaran bahan bakar fosil sangat rentan terhadap pengubahan susunan dan kandungan gas-gas yang berada dilapisan (atmosfir) bumi dan akan berakibat pada peningkatan suhu rata-rata diseluruh dunia. Tahun 1998 adalah sejarah bumi terpanas disepanjang sejarah, hal ini mengingatkan kita akan peristiwa Elnino, kemarau panjang dan kebakaran hutan secara besar-besaran di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi ditahun tersebut. Demikian pula menguatnya isu pemanasan global (global warming) yang terjadi sebagai gejala rumah kacapun semakin memanas sebagai dampak ikutan.



Olehnya itu, panas bumi Lembata yang saat ini menghadapi pengeboran sebagai bentuk eksplorasi diharapkan dapat diproduksi untuk memenuhi harapan dan kebutuhan rakyat. Agar pula sekitar kurang lebih 1milyar yang digunakan oleh Anggota DPRD Lembata dan gerombolan pekan lalu dalam lawatan studi banding panas bumi di Bandung tidak dianggap sebagai sampah daerah. Karena 1milyar untuk ukuran Lembata yang gersang lahan layaknya gurun Sahara di Afrika sangat memiliki arti yang bermakna.Tapi jika studi banding itu berhasil dan membuat panas bumi Lembata itu menjadi produktif, maka alangkah indahnya rakyat Lembata dalam menikmati energi panas bumi - pengganti energi fosil dan kita jauh lebih hemat ratusan milyar setiap tahun yang kita sumbangkan kepada pertamina. Pertanyaannya, apa pertamina begitu/harus ikhlas dan rela? Wallahu a'lam...



Semoga bermanfaat...

Akhmad Bumi
Read more »

Ine, bukan perempuan biasa

Ine, selamat malam …

Selepas pagi, matahari rebah diantara rerimbun hutan, cahanya menyelinap ke semak-semak dan angin memainkan daun-daun - dari balik gubuk, Ine bersijingkat menyingkap selimut bergegas menyimak isyarat, jejak berlarian menyibak semak, berlesatan dari sepang mata yang rabun memandang, sebab tetumbuhan tumbang, panenpun berujung malang.



Ah, apa yang mesti ditimbang, bimbang yang senantiasa membenamkan. Oh, kesabaran menjelma reranting, runcingpun setajam ujung pisau, menusuk jantung hutan. Ya, apa yang mesti ditimbang dari musim yang mempertemukan kisah - kasih diantara ranggas tanaman, yang senantiasa membenihkan keluh letih.



Aku tinggalkan ia, pergi dan pergi, tiba-tiba aku teringat jejak ibu, yang berdoa dalam dongeng, jangan pernah memutus tali nasib, karena air mata dan kekalahan adalah sebab mengapa Adam diturunkan.



Sebab dari itu aku mengalir, berpindah tempat, dari kebun ke cinta,

Dan aku ingin menulis tentangmu, disuatu masa yang telah kau musnakan. Mungkin kau dinegeri tanpa nama, disana negeri tanpa alamat kata, kau bisa mendengarnya. Sebermula dari atap gubukku, berserakan daun-daun mimpi kering, dihempas angin jahanam, yang juga melantakkan segala ingatanku, padamu, Ine.



Rok jeans mini, kaos kelabu plus sandal kuning transparan – malam itu,

membuatmu terlihat muda dan berbeda. “Keseharian, aku lebih suka rok, dan memilih celana diacara resmi dan bekerja” katamu, ditemani tiga teman perempuan di Bakoel Koffie Cikini, Jum’at malam – 25 Oktober 2007.

Apapun pilihan pakaianmu, saya setuju, kau bukan perempuan biasa.



Dan itu sudah kau sadari, saat belajar di bangku sekolah menengah - SMA satu Makasar. Tempat cinta pertama datang dan saat remajamu dikelilingi HAI, GADIS & Anita Cermerlang – yang mengenalkan pada mimpi terbesarmu.



“Aku akan jadi reporter, aku mau melihat dunia”, janjimu. Dan kau menepatinya kini.



Kau putuskan keluar, setelah setahun kuliah di Fakultas Kedokteran UNHAS, lantas memilih hijrah ke jurusan komunikasi FISIP Universitas Gadjah Mada. Keluarga besarmu berat hati, melepas kepergian ke kota pelajar itu. Maklum, saat itu baru kamu dari tiga bersaudara, yang belajar di luar Makasar.



“Aku tahu diri, dengan keterbatasan dan keinginan melihat dunia, harus kubuka pintunya satu demi satu”, katamu polos.



Di Jogjakarta kau memulainya - menulis di Balairung - majalah kampus, koresponden majalah HAI, Public Relation Jogjakarta Craft Council brand manager Dagadu, reporter hingga menjadi marketing Manager ekspor produk kerajinan lokal.



Dari semua itu, satu kejadian yang kental mewarnai hidupmu - saat kau menjadi penyiar Tri Jaya FM, sebuah radio swasta ternama di Jogjakarta.



Suatu hari dikehidupan Ine Novianti Fathiastuti, 28 th, rambut hitam, tinggi 159 cm, lingkar pinggang 28, ukuran BH 34b, penyiar “Sunday Morning Web - Tri Jaya FM, 6 – 9 Am” – “Ine, besok pagi kau harus wawancara Anand Khrisna” kata produser sekaligus mitra siaranmu, Fadjrul Gunadi. Kau bingung, sepertinya pernah mendengar nama itu, tapi tak tahu siapa Anand Khrisna. Untunglah seorang teman punya buku karangannya - judulnya “Ah! Mereguk keindahan tak terkatakan – Hridaya Sutra bagi Orang Modern”.



Buku yang kemudian merubah pandanganmu tentang kehidupan. Yang membuatmu percaya tentang perjalanan panjang hidup manusia, tentang reinkarnasi, karma dan moksa. Sejak itu, kau lahap semua buku Anand Khrisna, juga banyak buku tentang ajaran Budha.



Kau percaya, bahwa orang hidup harus berguna buat orang lain. “Aku tak perlu takut miskin, ataupun susah – karena saat mati kau tak akan membawa apa-apa” tuturmu bersemangat. Tulisan Paulo Coelho melengkapi semangat hidupmu kemudian. “Jika kau bersungguh-sungguh mewujudkan mimpimu, seluruh dunia akan mendukungmu”. Itu pelajaran penting dari sang penulis – di novel Alchemist. Dan kau setuju. Kau tak takut lagi bermimpi.

Kau percaya, tiap orang punya legenda – punya sesuatu yang bisa merubah dunianya dan mewarnai dunia orang lain. “Legendaku menjadi penulis” katamu – tersenyum yakin.



Seyakin saat melamar reporter tetap Detik.com – media portal pertama di negeri ini, saat kau selesaikan skripsimu tahun 2004. Lantas, Kau pun hijrah ke Jakarta. “Detik.com bagai kampus kedua buatku, suasananya egaliter membuatku nyaman dan tumbuh” tuturmu mantap.



Keinginan melihat dunia, membuat kampus kedua ini bagai teropong kecil – tak cukup untuk meneropong dunia. Disini, hanya bertahan setahun - akhirnya bergabung disebuah TV swasta dinegeri ini, lima setengah tahun silam. Disini segalanya terasa asing, sembilu sepi menyayat-nyayat leher nasibku. Disini aku sendiri, tanpa cinta, hanya seikat sunyi yang didapatkan, katamu.



Tapi, aku lebai, aku lebai, dayung perahuku sudah jauh ketengah, kemalangan telah dibenamkan dalam-dalam. Tak ada yang hilang sesungguhnya, tak ada pula yang mendapatkan, apalah kita ini, atas hidup yang melulu hitam – putih, dan kita diciptakan untuk sendiri dan kehilangan.



Oh, kesunyian, hidupkanlah aku dalam dirimu, ujarmu berkali-kali.



Cinta mengajarkanku untuk bisa mengendus bau, cinta yang bergeliat - menjelma jadi dendam yang takkan selesai diurai, dendam yang sukar dirumuskan, oleh kesempatan singkat yang berduka panjang. Siapapun tahu belaka, tak ada yang bisa melepaskan apa yang pernah dimiliki. Sembunyilah dilaut terdalam, dan cinta yang menjelma hantu, akan menjemputmu pada pusaran itu.



Tubuhku telah menjadi hantu, bagi segala keinginan, bagi yang tidak bisa menunggu, waktu adalah belenggu, sampai gilirannya takdir akan menggiringmu pada pusaran nasib yang lain. Dus, tak ada yang lebih muram dari kisah sederhana ini, getar singkat yang berbuntut petaka panjang.



Setelah tak ada yang bisa tahu, apakah mati untuk cinta adalah peluang bijaksana?, membujuk kebodohan terkutuk ini. Dengan rasa bosan kau rangkai ingatan, manis tapi terasa ganjil; berharap diseberang sana – entah negeri ditempat apa, ada atau sekedar idiom saja – malaikat menanti bersama kejutan manis tak terduga. Melebihi dasyatnya mimpi yang menyerbu ingatanmu sepanjang penantian. Ada yang mencoba, tak ada yang tahu hasilnya.



Aku dan kisah muram menambah-nambah.



Ah, aku tinggalkan suasana itu.

Aku memilih suasana yang baru, karena jarak mengajarkan rindu. Maka, ijinkan aku mengangkat sauh, ayah sejak dulu dan aku ingin karam dilaut jauh, agar aku tak melulu diserbu sesal yang gaduh sebagaimana kau tahu.



Maka, aku menciptakan masa depan dalam ingatan, menghijaukan diam-diam. Suasana berbeda dengan tempat dulu aku berteduh. Kupasrahkan hidup pada yang baru, merawatku sebagai kelahiran lain. Ini tanah lain yang aku percaya sebagai rumah lain, padanya aku temukan wajah bapak yang lupa kau ceritakan itu.



Ah …. lagi-lagi perhitunganmu jitu Ine. Pintu-pintu untuk melihat dunia terbuka, satu-satu.



Malam makin larut, tapi tiga perempuan didepanmu makin penasaran, bagaimana keseharian menjadi bagian dirumah lain itu. “Bagaimana rasanya Ine?” .



“Biasa saja” katamu. “Semua orang memanggilnya Bapak, dia suka membaca dan memiliki 13 ribu judul buku. Hmm, sebenarnya aku tak yakin, dia tahu aku ada disekitarnya” katamu kemudian.



Dengan tertawa pelan, kau mulai cerita pengalaman unik dirumah lain itu, “Aku salah satu reporter yang ikut rombongan bapak ke Australia. Setelah meresmikan sebuah “rumah pintar – bernama gubuk perubahan disebuah hotel berbintang di Jakarta. Bapak keluar ruangan melewati beberapa orang dan berakhir dengan menepuk-nepuk pundakku, dipikirnya aku adalah orang lain, awalnya aku bingung, tapi akhirnya aku yakin.



Dan ternyata bapak berhimne disebelahku, dari sungai asalmu, dari sunyi asalku, ujarmu sambil tertawa ngakak.



Ah, Cinta! Kata yang membuat tiga orang perempuan – didepanmu, serentak memajukan kepala kearahmu. “Bagaimana kisah cintamu Ine, apa arti perkawinan dan pasangan buatmu?”



Kau tersipu sebentar, sebelum berkata dengan bersemangat, “pasangan bagaikan sepasang tiang penopang sebuah balok perkawinan. Jika tiang saling berjauhan maka balok akan jatuh, begitu pula jika si tiang terlalu berdekatan – sang balok tak lagi seimbang dan jatuh”, Katamu. “Pasangan harus saling memberikan ruang, bagai ruang diantara dua tiang. Ruang untuk bernafas dan tumbuh - untuk dirimu sendiri, untuk pasanganmu. Sebuah pernikahan harusnya memberikan ruang spiritual”. Rupanya, Kahlil Gibran dan Oprah Winfrey Talkshow menginspirasi pandangamu tentang perkawinan.



Sayang, tak banyak pasangan lelaki mau memberikan ruang itu, Ine. Apalagi, katamu “Aku Scorpio tulen, selalu ekspresif dan meledak-ledak jika jatuh cinta. Kata sahabat-sahabatku, lelaki tak suka cara itu”.



Mungkin karena itu, kau ditinggal kawin tiga pasanganmu. Kau sempat patah hati dan merasa tak layak dipilih. Kau jadi takut kehilangan. Meski kehilangan demi kehilangan mengajarimu berani memilih dan ikhlas. Belakangan, kau mensyukurinya.



Kau benar Ine, mereka tak layak jadi pasanganmu. Carilah lelaki tak biasa, yang menerimamu apa adanya - berani berbagi ruang dengan pasangannya, mengoreksi sistem patriarki – yang mengakar kuat di negeri ini.



Sudahlah Ine. Kau pasti menemukannya – di usiamu yang berjalan kepala tiga sekarang. Nikmati saja.



“Aku mulai bisa menikmati hidup, legendaku mengalir”, katamu. “Dulu aku tak yakin pikiran-pikiran yang kutulis dinantikan orang, dulunya kupikir itu sampah – tak layak dibaca. Ternyata aku salah, tulisanku dinantikan teman-teman. Mereka mengikuti dan mengomentari blogku. Aku sempat takjub”, tambahmu, terharu.



Ah.. Ine. Kau tak perlu heran, kau layak mendapatkan legendamu. Tak perlu khawatir juga pandangan orang tentang dirimu. Mau tahu kata mereka? Ine sang penyuka warna ijo, itam dan kelabu - orangnya percaya diri, bidadari, attractive, cuek, pintar.



Malam makin larut. Teman perempuanmu mulai sering melirik jam – sudah tengah malam rupanya.



Satu lagi sebelum pulang Ine. “Jika kau ibaratkan dirimu buah, apa yang kau pilih? “



“Durian” katamu mantap. “Kelihatan jutek dan tajam, dia punya pembatas – sebelum kau mandapatkan biji dagingnya, tapi setelah kau buka, kau akan menyukainya – bisa ketagihan pula”. tambahmu.



Kau benar, kau mulai membuat ketagihan - untuk berbicara, mendengar dan mengenalmu lebih dekat.



Sayang, malam makin larut. Kau dan temanmu harus segera pulang.



Selamat malam Ine …

Akhmad Bumi
Read more »

 
Cheap Web Hosting | Top Web Hosts | Great HTML Templates from easytemplates.com.