Terma Civil Society menjadi pemakaian aktual seiring dengan munculnya berbagai gerakan (demokrasi), yang diidentikan dengan gerakan demokrasi global dan terjadi dimana-mana. Terma ini tepatnya digunakan dalam dua cara : Pertama, untuk merujuk kepada prinsip demokrasi radikal, bahwa kehidupan civil society terpola atas dasar kebebasan dan kesamaan antar warga yang bertindak sesuai dengan kesadaran keadaban – bentuk masyarakat semacam inilah yang mulai dirintis oleh gerakan-gerakan demokrasi global. Kedua, adalah untuk mengidentifikasi organisasi dan gerakan civil society yang menginginkan terwujudnya otentisitas budaya, ekonomi, ruang politik kearah penciptaan yang diidealisasikan sebagai masyarakat sipil yang kuat dan menentukan.
Secara historis, terma civil society dapat dilacak pada masyarakat Yunani klasik, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh seorang filsuf terkenalnya, Aristoteles, dengan sebutan politike koinonia atau komunitas politik, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa latin sebagai societas civilis atau civil society.
Aristoles menggambarkan bahwa civil society sebagai komunitas politik dalam batas etika, yang bebas dan egaliter berdasarkan kebaikan dan sikap tanggungjawab yang dengan kesepakatan bersama hidup dibawah system hukum yang mengekspresikan norma-norma dan nilai-nilai masing-masing. Sebagai hukum legal adalah kodifikasi dari nilai-nilai budaya yang dipilih oleh anggota masyarakat sebagai jalan hidup, ia menjadi penguatan ekonomi diri yang besar – yang memaksimalisasi kebebasan individu dan meminimalisasi ketergantungan pada intervensi negara yang memaksa.
Ini adalah konsistensi ideal dengan kesadaran aktual kita tentang dasar-dasar organisasi dari system hidup yang sehat dan dengan memberikan kebebasan bagi potensi-potensi kreatif manusia.
Untuk menggarisbawahi konsep Aristoteles adalah pertanyaan yang telah lama diajukan oleh para filsuf politik: apakah sifat dasar asali dari masyarakat yang beradab – sebagai kontradiksi dari apa yang sampai sekarang diasumsikan sebagai kacaunya negara asali yang tidak beradab – dan bagaimanakah tatanan masyarakat beradab yang paling baik itu?.
Aristoteles mengambil dari sisi pemerintahan mandiri dan demokratis yang dibangun diatas dasar budaya yang mengandung etika kewargaan. Thomas Hobbes, yang mengikuti Aristoteles setelah 2000 tahun, adalah diantara banyak akademisi yang berpandangan skeptis terhadap “tabiat manusia”. Hobbes mengemukakan argumentnya, bahwa jika manusia harus memiliki tatanan masyarakat, mereka harus tunduk pada kekuasaan monarki absolute yang menggunakan kekuasaan untuk menekan agresivitas kita dan mempunyai naluri ekspansi hegemoni untuk mengontrol.
Isu tentang monarki sudah lama reda. Pilihan antara hirarki yang otoriter dan pemerintahan mandiri tentu saja juga sudah usang untuk diajukan. Korporasi sekarang ini sudah menjadi institusi pilihan diantara mereka yang ingin menentukan tatanan berdasar masyarakat tanpa negara yang menggunakan kekuasaan hirarki otoriter. Tentu saja para pendukung korporasi global metasbihkan diri mereka sebagai bomber dari demokrasi dan kemandirian pasar. Mereka mengabaikan fakta bahwa dibawah system korporasi global sekarang ini, perusahaan menjadi salah satu diantara lembaga-lembaga yang paling otoriter dan tidak terjamah yang pernah diciptakan oleh manusia, serta paling otoritatif diantara mereka yang mengatur ekonomi internal, lebih luas daripada yang seharusnya dilakukan oleh negara. Struktur internal mereka tidak mencerminkan dasar-dasar demokrasi maupun kemandirian pasar itu sendiri.
Konsepsi ideal dari civil society mengasumsikan bahwa kapasitas bagi kemandirian organisasi secara penuh berdasarkan perasaan bersama dalam kesatuan spiritual dari segala aspek kehidupan, inheren dengan jiwa kemanusiaan. Otentisitas budaya yang mengalir dari pengalaman yang otentik dari anggota-anggotanya adalah ruang lingkup utama dari kehidupan kolektif. Nilai-nilai budaya asli membawa kepada kehidupan ekonomi dan politik melalui partisipasi secara sadar dari setiap individu dalam membentuk institusi-institusi dan melakukan proses-proses yang dengannya masyarakat menyusun pemerintahannya (polity), mengalokasikan sumber dayanya untuk aktivitas produktif (economy), dan menetapkan bahwa keyakinan dan nilai adalah sumber dari arti dan identitasnya (culture).
Dalam civil society, institusi-institusi politik dan ekonomi adalah ciptaan dari warganya secara sadar, terefleksikan secara alami, memelihara nilai-nilai kehidupan, symbol-simbol, dan keyakinan dari budaya asli ciptaan mereka sendiri. Budaya ini, pada gilirannya, membuka partisipasi public mereka dalam urusan-urusan sosial politik masyarakat. Sistem yang merupakan bentuk perjanjian antar warga yang konstan ini menjamin bahwa lembaga-lembaga politik dan ekonomi itu tetap responsive terhadap kepentingan-kepentingan publik dan berkembang sebagai respons terhadap nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi dari budaya yang sedang berkembang.
Dalam corak sivil society seperti ini ; kekuatan dan nilai-nilai yang menentukan bagi masyarakat tersebut mengalir sebagai semangat hidup bagi warga masyarakat dan bagi lembaga-lembaga yang ada.
Berdasarkan pada keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai dari ceritra lama sebagaimana diekspresikan melalui budaya modern, maka dengan demikian, masyarakat kapitalis telah membuang spiritnya dan mencemarkan kehidupan, serta mengabaikan kapasitas manusia untuk bekerja sama dan berbagi. Uang adalah ukuran nilai. Hidup hanya dinilai dari harga yang diobral: sebatang pohon hanya diukur dari jumlah kepingan kayu yang dapat dihasilkan (tanpa mempedulikan akibat ekologis yang mungkin ditimbulkan dari penebangannya secara liar). Tujuan pribadi ditetapkan dalam rangka mengejar kepuasan materi.
***
Kompetisi untuk mendapatkan teritori dan keberlangsungan hidup adalah dasar dari hukum alam. Kita tidak dapat mengharapkan manusia agar jadi atau menjadi lebih dari sekedar binatang yang brutal, yang mengikuti aturan naluri untuk tetap bertahan hidup, bereproduksi, dan mencari selingan dari kesendirian melalui pengejaran kepuasan materi.
Fungsi utama dari adanya lembaga-lembaga dalam masyarakat beradab adalah agar dapat mendayagunakan hirarkhi struktur kontrol kelembagaan dan untuk menghubungkan gelapnya naluri kemanusiaan kita kearah produktivitas ekonomi.
Gambaran ini telah memiliki banyak konsekwensi positif. Ia membebaskan masyarakat dari tirani intelektual yang mematikan dan memberikan legitimasi untuk belajar melalui observasi empiris.
Pada saat yang sama, melalui pencemarannya terhadap kehidupan dan penolakannya terhadap makna, ia membimbing kearah ajaran bahwa uang adalah nilai tetap bagi masyarakat konteporer dan melahirkan etika hedonistik dari kepuasan diri secara material, menciptakan hirarkhi sosial, melakukan control terhadap lembaga raksasa semacam negara dan korporasi, dan menciptakan system ekonomi yang memunculkan kerakusan dan menghancurkan kehidupan. Ia tidak memberi kita alasan untuk hidup diluar penggunaan tekhnologi untuk menciptakan lebih banyak selingan yang sempurna.
Ia mendikte kita bahwa kita tidak memiliki sesuatu yang lebih tinggi untuk dicita-citakan selain memperturutkan diri kita dalam kemewahan materi, meskipun itu membebaskan kita dari pertanggungjawaban moral sebagai konsekwensi dari tindakan-tindakan yang dilakukan – sehingga mensetting sandiwara secara logis dan emosional bagi keterlibatan kita dalam kapitalisme dan kekuasaan korporasi global. Ia juga berbenturan dengan realitas pengalaman manusiawi dan temuan-temuan ilmu pengetahuan konteporer. Dari berbagai kelompok yang beredar, dapat digambarkan dengan tiga pengelompokan dibawah ini;
Pertama, Kelompok modernis, kelompok ini selalu berfikir tentang kemajuan materi dan menginginkan mereka kelak berada dalam keadaan lebih baik secara materi daripada kehidupan mereka saat ini. Untuk mewujudkannya, mereka mengagung-agungkan materi sebagai panduan untuk memperoleh uang juga kekayaan yang berlebih. Dalam mengejar kesuksesan materi, mereka cendrung menempuhnya meskipun diluar batas kemampuan mereka, bersikap sinis terhadap idealisme, serta hanya peduli dan menjalin hubungan dengan mereka-mereka yang sukses. Mereka adalah para pemimpin korporasi dan institusi paling berpengaruh di belahan dunia, mereka juga para kampiun kapitalisme. Jumlah mereka relatif bertambah. Mereka, memandang diri mereka sebagai tulang punggung dari rasionalitas, kemajuan tekhnologi, kemakmuran, dan kebebasan manusia – suatu benteng perlawanan terhadap kubu yang menurut pandangan mereka akan mengembalikan lagi manusia kedalam negara kuno yang primitif. Mereka melihat korporasi global dan pasar financial sebagai motor utama bagi kemajuan materi-mengkonversi sumber kemalasan para penghuni planet ini kearah tenaga siap pakai untuk mengoptimalkan keuntungan bagi semua. Jika pada kenyataannya (kemudian) institusi ini membuat kerusakan, itu adalah harga yang harus dibayar bagi kemajuan kearah realisasi kebaikan bersama yang lebih besar.
Kedua, Kelompok tradisional, kelompok ini menyikapi nilai-nilai materi dari modernisme dengan ajakan kembali kepada cara hidup tradisional, termasuk pembagian peran untu semua. Mereka yakin dengan prinsip saling tolong menolong, bekerja secara swadaya, menciptakan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tradisi. Mereka condong kearah konservatisme dan mungkin juga kearah rasisme serta fundamentalisme. Dan kelompok ini cendrung menurun dan hampir tidak bertahan diserang badai modernisme/kapitalis.
Ketiga, Kelompok kreator budaya, kelompok ini, mereka tumbuh secara perlahan dalam angka maupun prosentase. Mereka memiliki kesamaan pandangan dengan kalangan modernis dalam hal pentingnya suatu perubahan, tetapi menolak hedonisme materealistik, korporasi global dan konsumerisme budaya. Mereka sejalan dengan kalangan tradisional dalam perhatian terhadap hubungan-hubungan yang manusiawi, jika keikhlasan dan pentingnya berbuat jasa terhadap masyarakat, tapi menolak kecendrungan mereka pada subsistensi, ketertutupan diri, intoleransi dan keyakinan bahwa manusia berhak menguasai alam.
Secara umum, mereka adalah orang-orang optimis pada segala kemungkinan yang dapat terjadi pada diri manusia. Lebih jauh, mereka melihat bahwa dalam modernisme dan trdisionalisme selalu ada celah untuk mulai mengupayakan penciptaan ruang keterbukaan, menekankan pada kehidupan masyarakat yang bekerja demi semua. Mereka merupakan garda terdepan dalam aktivitas sosial dan perlindungan lingkungan hidup.
Tentu saja, merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap individu mereka terlibat dalam empat hingga enam kelompok berbeda yang bekerja untuk perubahan sosial dan lingkungan. Mereka dibekali dengan jiwa kepemimpinan untuk melakukan gerakan-gerakan paling progresif dan untuk berinisiatif, dan merekalah yang menggodok tema inti dari protes di berbagai belahan dunia.
Secara empiris, menunjukan bahwa pola-pola ini adalah bagian dari kecendrungan global secara umum. Pola demikian juga mengindikasikan hilangnya kepercayaan terhadap sejumlah institusi hirarkhis-termasuk pemerintahan – serta secara tepat menumbuhkan kepercayaan diri yang kuat. Ambisi untuk menggapai ekonomi mengalami kemunduran, ketika hasrat untuk mendapatkan pekerjaan yang berarti dan gairah untuk menemukan makna diri dan tujuan hidup kian meningkat.
Kepemimpinan dikalangan kreator budaya pada umumnya datang dari kalangan yang mengkombinasikan komitmen keluar kepada keluarga, masyarakat, lingkungan dan bahkan masyarakat luar negara, dengan kehidupan spiritual yang kaya. Mereka berintekrasi penuh dengan nilai-nilai budaya yang terintegral memberi makna hidupnya secara terhormat dari segala dimensi, baik dimensi dalam maupun dimensi luar.
Kesadaran sosial dari mereka tumbuh diluar kesadaran spiritual yaitu dari kesatuan hidup yang fundamental – sumber utama optimisme mereka tentang kemungkinan-kemungkinan pada manusia.
Kekuatan kreator budaya ini selalu melibatkan diri dalam pertumbuhan kepribadian. Mereka mempelopori tekhnik-tekhnik pengembangan psikologi, mengembalikan praktik spiritual yang diatur secara terpusat kearah yang lebih otonom dalam kehidupan sehari-hari, dan mengangkat peran penting ketika mereka berusaha untuk mewujudkan kembali kehidupan politik dan ekonomi agar menyatu dengan nilai-nilai mereka. Untuk tujuan ini, mereka juga berada pada garda depan dalam mewarnai pandangan dunia baru tentang ekologi dan spiritual, wacana baru tentang kepedulian sosial, dan agenda permasalahan baru tentang kemanusiaan.
Pengelompokan kultural yang digambarkan ini membawa kepada atensi terhadap pondasi cultural dari pertarungan antar kekuatan korporasi global dan kekuatan civil society global. Motivasi yang menggerakkan dua kekuatan itu lebih banyak berdasarkan afiliasi budaya dari pada kelas – meskipun korporasi global menciptakan kesenjangan kelas sosial.
Pandangan kaum modernis yang terfokus pada materialisme dan mengejar keuntungan individu menjadikan mereka sebagai konstituen alami bagi korporasi global. Budaya modern benar-benar memperlengkapi korporasi global dengan legitimasi yang menjadi pendukung utamanya. Meskipun para pendukung kapitalis perna mengalami kegagalan – dalam waktu yang lama saat mereka menganut nilai-nilai dan pandangan dunia modernisme, (namun) mereka masih terpikat oleh kemilaunya konsumerisme dan menghidupkan mimpi bahwa suatu hari seorang perempuan pembawa kemajuan akan tersenyum kepada mereka untuk memberi isyarat bahwa kelak mereka akan memenangkan undian.
Kaum tradisional juga memberikan konstribusi signifikan bagi upaya pelegitimasian terhadap beroperasinya kapitalisme melalui keyakinan mereka bahwa kesuksesan komersial adalah tanda dari kebajikan individu dan sesuatu yang anggun dimata Tuhan. Menurut orang-orang tradisionalis, mereka yang tidak terima terhadap (ketimpangan) pembagian kekayaan yang telah ditetapkan berarti menentang kehendak Tuhan, dan karena itu merupakan tindakan dosa.
Kalangan tradisi kreatif, sebaliknya; tidak segan-segan untuk melakukan penentangan terhadap berbagai kemapanan dalam segala dimensinya. Mereka tidak tertarik untuk melibatkan diri memperebutkan posisi-posisi kekuasaan yang eksis dan mapan, (sebaliknya) mereka lebih memilih untuk melakukan korporasi global akan menghadapi terkikisnya legitimasi moral mereka, dan dengan demikian juga otoritas mereka atas loyalitas orang kepada mereka mengalami hal sama – yang pada akhirnya membuka jalan bagi terbentukanya lembaga baru yang lain lebih bermartabat.
Ketiga kelompok diatas saling geser, saling klaim, bahkan sampai pada tingkatan bentrokan yang paling heroik, semuanya berkhotbah tentang pentingnya nilai-nilai kemanusian agar tidak terkapar dari yang diharapkan, pergeseran budaya mewarnai lingkup dan bentrokan antar ketiganya hingga hari ini.#
Oleh: Akhmad Bumi